Tribunners / Citizen Journalism
Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Ambivalensi ‘Penjarahan’: Eskalasi Kesenjangan atau Jebakan Konsumsi?
Penjarahan barang DPR dinilai bukan sekadar kriminal, tapi simbol ambivalen antara kritik sosial dan reproduksi konsumsi kapitalistik.
Dengan demikian, simbolitas status sosial yang sebelumnya ada di menara elite, tiba-tiba sangat terbuka bagi siapapun. Lebih-lebih karakter dari logika konsumsi yang memahami bahwa distribusi barang mewah tidak merata. Sebagian besar rakyat hanya menjadi penonton yang dijejali iklan, tayangan televisi, dan narasi media sosial tentang gaya hidup elite.
Barang-barang mewah DPR yang diperoleh dari gaji, tunjangan, atau bahkan praktik rente politik berdiri sebagai simbol jurang antara kelas penguasa dan kelas pekerja. Di titik ini, penjarahan muncul sebagai semacam “hak atas akses konsumsi” yang dirampas secara paksa. Ia mungkin bisa dimaknai penolakan terhadap monopoli elite atas objek-objek simbolik yang dimaknai sebagai puncak prestise di satu sisi.
Namun kita tak bisa menghapus sintesa apriori bahwa hal ini hanya satu variabel bagi keputusan bagi ego untuk mengabulkan permohonan hasrat ‘konsumsi’. Dalam logika ini, penjarahan menjadi ekspresi politis, rakyat yang biasanya ditekan oleh struktur sosial ekonomi kini menegaskan kembali agensinya melalui perampasan tanda.
Dalam kerumitan ini, penjarahan lantas bertransformasi menuju persimpangan ambivalensi, sebab pada akhirnya kita akan sulit membedakan apakah orientasi ini sebagai konfigurasi kritik ketimpangan atau hanya sebatas pemenuhan hasrat konsumsi?
Hal ini diapat dikonkritisasi melalui peringatan Baudrillard bahwa konsumsi juga memiliki daya represi yang subtil. Masyarakat konsumsi membentuk kita bukan hanya sebagai pengguna barang, tetapi sebagai subjek yang diatur oleh fantasi barang itu sendiri.
Dengan kata lain, meskipun penjarahan tampak seperti resistensi, ia bisa jadi hanyalah bentuk lain dari reproduksi logika konsumsi. Ketika seorang warga memegang tas Louis Vuitton hasil jarahan, ia tidak sedang keluar dari sistem konsumsi, melainkan tetap berada di dalamnya, bahkan semakin menegaskan bahwa objek itu memang bernilai karena diperebutkan.
Artinya, perlawanan itu sendiri berpotensi memperkuat aura barang mewah sebagai simbol dominasi. Resistensi terhadap konsumsi bisa berbalik menjadi validasi terhadap sistem tanda yang sama.
Fenomena ini semakin jelas jika kita hubungkan dengan konsep simulacra Baudrillard dalam Simulations (1983:1-3). Simulacra adalah kondisi ketika tanda-tanda terlepas dari realitas materialnya dan menjadi kenyataan tersendiri. Barang-barang mewah anggota DPR sesungguhnya tidak hanya berfungsi sebagai kendaraan, aksesori, atau peralatan.
Mereka hidup sebagai simulasi kehidupan elite: gambaran tentang kemapanan, kesuksesan, dan kekuasaan yang berulang kali diproduksi dalam media dan imajinasi publik. Ketika rakyat menjarah barang-barang itu, mereka tidak sedang “mengambil benda nyata”, melainkan sedang meraih sebuah simulasi kehidupan yang selama ini mereka lihat dari kejauhan. Peristiwa penjarahan itu dengan demikian tidak bisa dilepaskan dari politik imaji: rakyat sedang bermain dalam dunia tanda yang dibentuk dan dipelihara oleh sistem konsumsi kapitalistik.
Penjarahan sebagai Kritik dan Reproduksi Konsumsi
Di titik ini, pertanyaan penting muncul, apakah penjarahan itu benar-benar sebuah bentuk emansipasi sosial, ataukah hanya jebakan konsumsi yang lain? Baudrillard cenderung pesimis: masyarakat konsumsi membuat kita sulit keluar dari lingkaran tanda. Bahkan dalam momen penjarahan yang tampak radikal sekalipun, rakyat tetap terperangkap dalam logika yang sama, yaitu bahwa nilai diri dan kekuasaan bisa dilekatkan pada benda.
Oleh karena itu, penjarahan barang mewah DPR bisa dibaca sebagai paradoks besar. Di satu sisi ia tampak sebagai perlawanan simbolik terhadap kesenjangan sosial, tetapi di sisi lain ia justru mengafirmasi mitos konsumsi bahwa kebahagiaan, kehormatan, dan kekuasaan bisa direpresentasikan melalui objek material.
Maka, opini publik pasca penjarahan pun terbagi dua. Sebagian mengutuknya sebagai kriminalitas, sementara sebagian lain melihatnya sebagai ekspresi frustrasi sosial atas kesenjangan ekonomi.
Namun, perspektif Baudrillard mengajak kita untuk melangkah lebih dalam, melihat bagaimana konsumsi telah menjajah imajinasi sosial sehingga baik elite maupun rakyat sama-sama terjebak dalam obsesi tanda. Bagi elite, barang mewah adalah sarana mempertontonkan kekuasaan; bagi rakyat, barang itu menjadi fantasi resistensi.
Namun bagi kedua kasus tersebut, yang menang tetaplah sistem konsumsi itu sendiri, sistem yang mengekalkan jurang, mereduksi oposisi, dan menyulap perlawanan menjadi konsumsi alternatif.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Temui Koalisi Masyarakat Sipil, Kapolri: Polisi Ingin Jaga Ruang Demokrasi |
---|
PKS Nilai Akar Demo Akhir Agustus karena Beratnya Beban Hidup Masyarakat |
---|
Pengamat Nilai Polri Berada di Garis Depan saat Tragedi Demo Ricuh Agustus 2025 |
---|
Beda Kata Kapolri dengan Polda Jabar-Jatim soal Alasan Sita Buku Tersangka Demo Rusuh |
---|
Temukan Adanya Pendana di Balik Demo Ricuh Akhir Agustus 2025, Bareskrim: Masih Proses Pembuktian |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.