Tribunners / Citizen Journalism
Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Ambivalensi ‘Penjarahan’: Eskalasi Kesenjangan atau Jebakan Konsumsi?
Penjarahan barang DPR dinilai bukan sekadar kriminal, tapi simbol ambivalen antara kritik sosial dan reproduksi konsumsi kapitalistik.
Editor:
Glery Lazuardi
Angga Trio Sanjaya M.Pd
- Dosen Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi UAD
- Domisili di Gunungkidul Yogyakarta
Riwayat Pendidikan
Universitas Ahmad Dahlan S1 Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Negeri Yogyakarta S2 Applied Linguistics
TRIBUNNEWS.COM - Di luar ribu-ribut anarkisme dan penjarahan, ada satu hal komplementer yang cukup menarik dibahas.
Jika kita cermati, tindakan penjarahan yang dilakukan oknum pendemo membuka ruang ambivalensi, antara kritik terhadap kesenjangan sosial sekaligus adanya pola sirkuler reproduksi konsumsi.
Dalam ruang ini, saya hendak keluar dari binerisme aspek moral dalam penjarahan, untuk membedah lebih dalam bagaimana struktur masyarakat kontemporer bekerja melalui logika konsumsi.
Jika kita menukil argumentasi Jean Baudrillard dalam Masyarakat Konsumsi (2015:88-89), kita dapat memahami tipikal konsumsi di masyarakat modern yang tidak lagi berfungsi sekadar pemenuhan kebutuhan biologis atau material, melainkan menjadi sistem tanda (system of signs).
Barang-barang yang kita konsumsi tidak hanya memiliki nilai guna (use-value), melainkan juga nilai tanda (sign-value). Artinya, ketika seseorang menggunakan atau memiliki sebuah objek, ia sekaligus sedang menandai posisi sosial, status, bahkan relasi kekuasaan.
Dalam konteks inilah, daalm kasus penjarahan, barang-barang mewah DPR mengimplikasikan simbolitas makna sosial yang meneguhkan jarak antara elite dan rakyat. Alih-alih dianggai mekanisme kritik anarkis terhadap ‘kemapanan’ dan ‘kemewahan’ gaya hidup anggota DPR. Maka, penjarahan ini justru mendorong aktivitas reproduksi konsumsi masyarakat sampai pada batas radikalnya.
Barang Mewah sebagai Simbol Kesenjangan Sosial Barang mewah milik DPR, mulai dari mobil sport, arloji dengan harga miliaran, tas desainer edisi terbatas, hingga perhiasan mewah, tidak bisa dipahami hanya sebagai benda konsumsi individual. Ia adalah simbol diferensiasi sosial, sebuah bahasa nonverbal yang menandai bahwa para pemiliknya berada di posisi superior dalam hierarki ekonomi dan politik.
Baudrillard menegaskan bahwa konsumsi modern bukanlah soal kebutuhan, melainkan soal prestise dan pembedaan sosial.
Dengan demikian, ketika barang-barang itu dijarah, tindakan tersebut memiliki makna lebih dari sekadar mengambil benda berharga. Lebih jauh, tindakan ini adalah upaya membalikkan tanda, sebuah penyangkalan simbolik terhadap legitimasi status sosial yang dilekatkan pada para elite politik. Namun, paradoks muncul di sini.
Baudrillard mengingatkan bahwa masyarakat konsumsi digerakkan oleh fantasi kebahagiaan yang melekat pada objek. Barang-barang mewah menampilkan diri seakan-akan sebagai gerbang menuju kesempurnaan hidup, meski pada kenyataannya hanyalah representasi simbolik. Dalam konteks penjarahan, rakyat yang mengambil barang mewah itu bisa jadi tidak benar-benar membutuhkan atau bahkan tidak mampu menggunakannya secara fungsional.
Seseorang yang berhasil membawa pulang arloji Swiss seharga ratusan juta mungkin tidak akan pernah memakainya dalam rutinitas sehari-hari. Tetapi itu tidak penting, sebab yang mereka klaim bukan fungsi, melainkan tanda. Di sinilah logika Baudrillard bekerja, bahwa penjarahan bukan hanya mengambil benda, melainkan mengambil alih aura simbolik yang selama ini hanya beredar di kalangan elite.
Penjarahan sebagai ‘Dalih’ Kritik Kesenjangan Sosial Lebih jauh, penjarahan dapat dibaca sebagai bentuk kritik terhadap kesenjangan konsumsi atau justru sebaliknya, ia hanyalah konfigurasi mekanisme aji mumpung untuk mengambil alih serta mengaktualisasi hasrat. Kita tahu bahwa dalam kondisi chaos, potensi upaya untuk mengkartrasi keinginan menjadi lebih berat karena intervensi keadaan.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Ada 10 Korban Jiwa Akibat Demo Ricuh, Tim Independen LNHAM Pastikan Suara Korban Tak Terabaikan |
---|
GNB Senang Prabowo Tinggal Teken Keppres soal Reformasi Polri, Ternyata Sudah Dipikirkan sejak Lama |
---|
Tim Independen 6 Lembaga HAM Usut Dampak Kerusuhan pada Demonstrasi Agustus-September 2025 |
---|
Komnas HAM Sebut Yusril Hormati Langkah 6 LNHAM Bentuk Tim Independen Pencari Fakta Demo Ricuh |
---|
Tim Independen LNHAM Pencari Fakta Rusuh Agustus 2025 Dibentuk Atas Inisiasi 6 Lembaga Nasional |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.