Tribunners / Citizen Journalism
Politik Kebangsaan: Kembali ke Rumah Rakyat, Menjaga Arah Sejarah
Bagi PDI Perjuangan, langkah ini bukan sekadar pembebasan tokoh. Ia menjadi momentum untuk memulihkan pengaruh secara substantif.
Editor:
Malvyandie Haryadi
Oleh: Romy Soekarno
- Politikus PDI Perjuangan
- Anggota DPR RI periode 2024–2029 dari daerah pemilihan Jawa Timur VI.
- Cucu Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno
- Anak dari Rachmawati Soekarnoputri
TRIBUNNERS - Sejarah tidak selalu datang dengan suara fanfare. Ia kerap tiba dalam bahasa isyarat—dalam gerak yang hanya terbaca oleh mereka yang peka terhadap denyut zaman.
Dan kali ini, denyut itu berpijak di Denpasar, ketika Megawati Soekarnoputri, dalam forum konsolidasi Fraksi PDI Perjuangan dari pusat hingga daerah, menyampaikan sesuatu yang lebih dari sekadar arahan partai.
Ia menyampaikan kredo ideologis, doktrin gerak, dan panggilan pulang: kembali ke rumah rakyat.
“Dharma eva hato hanti”—kebenaran yang mati akan menghancurkan. Namun kebenaran yang ditegakkan akan menyelamatkan.
Arahan itu bukan perintah turun ke bawah dalam arti organisatoris semata. Ia adalah ajakan untuk menyentuh ulang dasar kekuatan politik: suara rakyat yang murni, jerit perut yang sering tak terdengar di ruang istana, dan denyut harapan yang tak bisa dicapai oleh retorika kekuasaan.
Kekuasaan, sebagaimana ditegaskan Megawati, bukanlah hak istimewa, melainkan amanah konstitusional. Siapa pun yang mengkhianatinya akan dihukum oleh sejarah, cepat atau lambat.
Amnesti dan Arsitektur Ulang Kontrak Politik
Dalam waktu yang sangat singkat setelah pidato itu, sebuah rangkaian peristiwa menggemparkan jagat politik nasional: Presiden Prabowo mengajukan amnesti dan abolisi kepada DPR, yang mencakup tokoh-tokoh penting seperti Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong.
DPR menyetujui, Keputusan Presiden diteken, dan gelombang baru kekuasaan pun terbentuk.
Ini bukanlah sekadar keputusan hukum. Ini adalah simbol pergeseran. Amnesti menjadi pintu yang membuka jalan menuju rekonsiliasi kebangsaan, sekaligus sinyal bahwa polarisasi pasca-pemilu harus ditutup dengan jembatan dialog, bukan tembok kecurigaan.
Dalam langkah ini, politik Indonesia mulai kembali pada akarnya: gotong royong sebagai prinsip dasar, bukan perebutan ruang antar faksi.
Bagi PDI Perjuangan, langkah ini bukan sekadar pembebasan tokoh. Ia menjadi momentum untuk memulihkan pengaruh secara substantif, tanpa harus memamerkan kekuasaan. Karena kekuatan sejati, seperti yang selalu diyakini Megawati, bukan berasal dari jabatan, tetapi dari kemampuan memengaruhi arah sejarah.
Kekuatan di luar kabinet: Politik sebagai arus dasar
PDI Perjuangan menunjukkan bahwa menjadi kekuatan utama dalam republik tidak harus berarti duduk di dalam kabinet.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Benarkan Ada Demo Jilid 2 di Pati? Koordinator AMPB: Kita Pertimbangkan |
![]() |
---|
Wasekjen PDIP Adhi Dharmo Tak Penuhi Panggilan KPK dalam Kasus Korupsi Rel Kereta Api |
![]() |
---|
KPU Tutup Akses Ijazah Capres-Cawapres, PDIP: Melanggar Hak Publik |
![]() |
---|
PSI Banten Dukung RUU Perampasan Aset, Singgung Sudah Ada di Dalam DNA Partai |
![]() |
---|
Daftar Nama Ketua Umum Partai Politik dan Sekjen di Indonesia 2025 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.