Tribunners / Citizen Journalism
Ketika Keadilan Terasa Jauh, Bisakah AI Menjadi Solusi yang Mendekatkan?
Sesungguhnya AI memiliki kapasitas untuk menutup celah akses terhadap keadilan yang selama ini terjadi.
Editor:
Sri Juliati
Noah Wong mengakui bahwa AI belum mampu memahami secara dalam perihal konteks budaya, nuansa emosi, maupun membangun hubungan kepercayaan dengan klien.
Namun di saat yang sama, kita tak bisa memungkiri bahwa sesungguhnya AI memiliki kapasitas untuk menutup celah akses terhadap keadilan yang selama ini terjadi.
Contohnya dapat kita lihat di Los Angeles, di mana LA County meluncurkan program "Lawdroid" dan "JusticeBot".
Kedua aplikasi chatbot hukum berbasis AI yang dikembangkan bersama salah satunya oleh UCLA dan Stanford CodeX.
Chatbot ini memberikan jawaban atas pertanyaan dasar seputar hukum perdata seperti pertanahan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga.
India juga mengembangkan bot suara berbasis AI yang digunakan dalam proyek Prison Legal Aid Clinics.
Penggunaan AI ini dinilai sebagai terobosan solusi yang membantu narapidana buta huruf atau tidak paham hukum untuk memahami status kasus mereka.
Proyek ini didukung oleh NITI Aayog dan dianggap sebagai model inklusi hukum digital yang patut dicontoh oleh negara berkembang lain.
Saatnya Indonesia Mampu Melangkah Lebih Jauh
Dengan geografi yang luas, disparitas digital yang tinggi, dan tingkat literasi hukum yang rendah, Indonesia seharusnya menjadi salah satu negara yang paling diuntungkan jika mampu memanfaatkan AI untuk keadilan.
Bayangkan jika masyarakat di daerah terpencil bisa mengakses informasi hukum lewat aplikasi berbasis bahasa daerah.
Atau mereka bisa menyusun surat somasi, gugatan, dan permohonan melalui bantuan AI yang dilengkapi dengan fitur suara atau fitur penerjemah bahasa masyarakat menjadi menjadi bahasa hukum.
Melalui bantuan AI, mahasiswa hukum juga bisa melakukan riset dan analisis putusan dengan waktu yang cepat sehingga waktu mereka akan dapat lebih banyak digunakan untuk mendampingi masyarakat.
Namun kita juga harus sadar, AI bukan tanpa tantangan. Isu privasi, algoritma, keterbatasan infrastruktur digital, serta potensi penyalahgunaan data tetap perlu diantisipasi. Namun risiko ini bukan alasan untuk menunda.
Justru di sinilah pendekatan hukum adaptif menemukan urgensinya: hukum harus bisa merespons zaman, menyesuaikan diri dengan teknologi, tanpa kehilangan sisi kemanusiaannya.
Penutup
Selama ini kita membicarakan infrastruktur hanya dalam konteks jalan, jembatan, atau listrik. Padahal, akses terhadap keadilan juga adalah bentuk infrastruktur.
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jelang Demo Ojol, Polisi Siagakan Penyekatan Lalu Lintas di Kawasan Patung Kuda Jakpus |
![]() |
---|
Naik MRT Jakarta Tanggal 17 dan 19 September 2025 Cuma Bayar Rp1 |
![]() |
---|
Banjir Bandang di Nagekeo NTT: 6 Orang Tewas, 3 Masih Hilang, Status Tanggap Darurat Cuaca Ekstrem |
![]() |
---|
Jakarta Barat Tetapkan Status KLB Campak: 38 Kasus Terpantau di Kapuk Cengkareng |
![]() |
---|
Sidang Cerai Perdana Andre Taulany Akan Digelar 24 September, sang Artis Wajib Hadir? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.