Tribunners / Citizen Journalism
Regulasi Pemilu di Masa Pandemi
Dengan adanya lonjakan kasus Covid-19, Pemerintah dan DPR perlu melakukan mitigasi secara konkrit melalui regulasi
Sewaktu-sewaktu penyelenggara pemilu memang dihadapkan pada situasi yang luar biasa. Apa pun yang terjadi dan dihadapi, penyelenggara pemilu tidak dapat berhenti dan menolak untuk bekerja, semata-mata berdasarkan alasan, bahwa ia tidak dipersiapkan untuk itu.
Dalam situasi seperti pandemi misalnya, mau tidak mau kita akan memasuki ranah cara menyelenggarakan pemilu secara luar biasa. Apabila cara-cara biasa atau normal disebut sebagai rule-making, maka cara-cara luar biasa ini disebut sebagai rule-breaking atau mematahkan dan menerobos hukum yang ada. Hukum yang baik, hukum yang kontekstual sekaligus menjawab persoalan zamannya.
Begawan hukum progresif Satjipto Rahardjo melukiskan perjalanan hukum itu tidak selalu presisi dengan realitas kehidupan masyarakat.
Kita melihat dan mengalami, betapa perjalanan hukum itu tidak selalu lurus-lurus saja, akan tetapi berkelok-kelok dan di sana-sini berupa patahan-patahan. Oleh patahan tersebut, perjalanan hukum menjadi terputus, untuk kemudian dilanjutkan lagi.
Ilmu kita sekarang sudah semakin menjadi dewasa, dalam arti, bukan lagi berpikir secara hitam-putih, melainkan mengakui kompleksitas, ketidakpastian dan relativitas. Ketertiban (order) tidak lagi bertolak belakang dengan kekacauan (chaos), tetapi keduanya berkelindan.
Pembentuk undang-undang mesti responsif dalam menghadapi perubahan situasi, seperti Pandemi Covid-19. Perubahan situasi di luar secara generik akan berpengaruh kepada hukum.
Sebab hukum tidak tinggal di ruang hampa, hukum berada di tengah arus zaman. Hukum tidak dapat dilepaskan oleh situasi perubahan sosial, politik, bahkan pandemi.
Pembentuk undang-undang tidak boleh terjebak ke dalam kepentingan jangka pendek seperti, pengaturan sistem pemilu, daerah pemilu serta penghitungan jumlah kursi. Sehingga tidak mampu merespon secara baik tentang problematika penyelenggaran pemilu baru, yaitu situasi pandemi, politik uang, kampanye di media sosial dan penguatan demokrasi yang jurdil.
The last but not least, pembentuk undang-undang harus mengalami perubahan paradigmatik terkait diskursus pembentukan RUU Pemilu.
Sejarah hukum juga mengenal siklus periodisasi, mulai dari hukum normal, kemudian memasuki periode abnormal, untuk selanjutnya menjadi normal kembali dan begitu seterusnya siklus sejarah hukum berulang.
Model politik kebijakan keseimbangan MIKO dapat diadopsi oleh pembentuk undang-undang sebagai mitigasi dalam pengaturan pemilu di masa pandemi.
Model politik kebijakan keseimbangan MIKO relevan dan kontekstual dengan pilihan kebijakan negara Indonesia yang tidak memberlakukan kebijakan lockdown. Semoga RUU Pemilu saat ini semakin menjawab tantangan zaman sekaligus problematika hukum pemilu di masa depan.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Bawaslu Tak Persoalkan Pramono Anung Beli Minuman Rp 200 Ribu Dari Warga Saat Blusukan di Kwitang |
![]() |
---|
Bawaslu Sebut Politik Dinasti Jadi Tantangan di Pilkada 2024 |
![]() |
---|
Bawaslu: Banyak Celah Dimainkan oleh Pelanggar Pilkada Supaya Tidak Kena Sanksi |
![]() |
---|
Bawaslu Buat Tim Khusus Telusuri Dugaan Pencatutan KTP Warga Jakarta oleh Pasangan Calon Dharma-Kun |
![]() |
---|
Dugaan Pencatutan NIK, Bawaslu DKI Minta Masyarakat Lengkapi Syarat Formil dan Materiil Pelaporan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.