Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Menanti Pemberlakuan KUHP Baru Sebagai Dasar Hukum Pembahasan RUU Perampasan Aset

Pembahasan RUU Perampasan Aset baru bisa disahkan jika Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru sudah disahkan. 

HO/istimewa 
MINIMALISIR ABUSE OF POWER - Penulis, Bambang Soesatyo yang juga anggota Komisi III DPR RI sekaligus Ketua ke-15/ MPR dan Ketua ke-20 DPR menilai pembahasan RUU Perampasan Aset baru bisa disahkan jika Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru sudah disahkan. Menurutnya, hal yang lebih penting adalah potensi abuse of power aparat penegak hukum bisa diminimalisir atau dieliminasi oleh KUHP yang baru. 

Sangat besar kemungkinan bahwa UU Perampasan Aset akan dijadikan alat untuk melakukan pemerasan oleh aparat penegak hukum, jika KUHP baru belum disahkan. Sangat penting untuk digarisbawahi, kalau KUHP saat ini masih menyimpan potensi dan peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum penegak hukum,.

Memang, semua elemen masyarakat mencatat bahwa tidak ada institusi penegak hukum yang bersih dari tindakan penyalahgunaan wewenang.

Publik mencatat dan sudah banyak bukti. 

Dari oknum pada institusi peradilan, oknum pejabat tinggi pada institusi penegak hukum hingga oknum pelaksana di lapangan terbukti sering menyalahgunakan wewenang dan berperilkau koruptif.

Dalam konteks itu, fakta tentang pemerasan oleh oknum petugas terhadap tahanan patut dijadikan contoh kasus sekaligus sebagai pembelajaran.

Pada Desember 2024, Pengadilan Tipikor Jakarta menetapkan vonis kepada 15 terdakwa dengan hukuman penjara empat hingga lima tahun. 

Belasan terdakwa itu berlatarbelakang atau berstatus pegawai pada Rumah Tahanan KPK. Mereka didakwa melakukan pemerasan atau pungutan liar di lingkungan Rutan KPK yang akumulasinya mencapai RP 6,3 miliar.

Durasi praktik pemerasan itu sekitar empat tahun, sejak tahun 2019 hingga 2013.

Kasus pemerasan ini dibeberkan oleh para terpidana korupsi. Ini sekadar contoh penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh level petugas Rutan.

Peluang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan pun sangat terbuka ketika oknum petugas diberi wewenang merampas aset koruptor. 

Jangankan persoalan menaksir nilai aset, dalam vonis lembaga peradilan pun publik sudah tahu adanya proses tawar menawar tentang durasi sanksi hukuman.

Dalam proses menghitung besaran aset yang akan ditarik negara, setidaknya terbuka peluang untuk kompromi tentang perhitungan besar-kecilnya aset yang akan dirampas negara.  

Kalau oknum petugas bersedia memperkecil nilai aset yang akan ditarik negara, kesediaan itu tentu saja tidak gratis. Kesediaan oknum petugas itu harus dikompensasi.

Jadi, pada isu tentang perampasan aset negara yang dikuasai koruptor, persoalannya bukan mau atau tidak mau, melainkan adanya kepastian bahwa hak merampas aset tindak pidana itu pada saatnya nanti tidak disalahgunakan.

Misalnya, tidak disalahgunakan untuk memanipulasi perhitungan nilai aset. Kalau aset yang harus dirampas bernilai 100 tetapi hanya dihitung 10, bukankah negara dan rakyat tetap dirugikan?

Semoga saja KUHP baru segera dihadirkan agar pembahasan RUU Perampasan Aset tindak pidana memiliki landasan moral yang kokoh. (*/)

 

 

Penulis, Bambang Soesatyo, juga menjabat sebagai Ketua ke-7 Komisi III ke-7 sekaligus Dosen Tetap Pasca Sarjana (S3) Ilmu Hukum Universitas Borobudur/Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN)

 

 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved