Tribunners / Citizen Journalism
Kejahatan di Ruang Kesehatan, Aspek Kebijakan Hukum, dan Solusi Multidisipliner
Kejahatan tumbuh dari celah yang dibiarkan terbuka oleh sistem—baik sistem hukum maupun sistem pelayanan kesehatansendiri. Termasuk di bidang medis.
Bebas hukum sebab masih banyak tempat penting yang tak dipantau oleh CCTV, tidak adanya kecurigaan pasien karena relasi kuasa, kekosongan prosedur dalam hal kewajiban mendampingi pasien, bahkan tidak ada tempat pengaduan yang aman bagi pasien untuk mengadukan pelecehan tanpa rasa takut.
Sistem yang seharusnya hadir untuk menjaga martabat manusia malah memberi peluang bagi pelaku untuk mewujudkan niatnya.
Psikologi Relasi
Faktor lain, di luar faktor kelemahan sistem dan kelemahan pengawasan, adalah faktor psikologis. Menurut Foucault ruang periksa bukan sekadar tempat diagnostik dan terapi, melainkan juga arena produksi kuasa.
Relasi antara dokter dan pasien bagi Foucalt tidak pernah setara. Yang satu memiliki pengetahuan dan otoritas, sementara yang lain tunduk dalam ketidaktahuan dan ketergantungan.
Atas situasi ini muncullah apa yang disebut sebagai medical gaze atau pandangan medis yang mampu mendisiplinkan tubuh, sekaligus membungkam subjektivitas pasien.
Oleh sebab itu ruang kesehatan laksana tempat pendisiplinan. Di dalam ruang tersebut tubuh pasien tidak hanya diobservasi dan ditangani secara klinis, tetapi juga ditundukkan secara simbolik dan sosial.
Ketika seorang dokter menyentuh, memeriksa, atau dalam tahapan tertentu memerintahkan pasien, sang dokter tidak hanya menjalankan prosedur, tetapi mereproduksi struktur kuasa yang menempatkan pasien sebagai objek, bukan subjek. Dalam struktur semacam inilah, kejahatan dapat terjadi tanpa terlihat sebagai kejahatan.
Keterlambatan Hukum
Hukum, sebagaimana tokoh wayang yang kehilangan senjata pamungkasnya, justru sering kali datang terlambat. Hukum, dalam permasalahan ini, baru bergerak setelah tubuh terluka dan air mata tumpah.
Padahal, hukum idealnya tidak hanya menjadi pedang yang menghukum, tetapi juga tameng yang mencegah. Untuk itu maka pendekatan kebijakan hukum terhadap kejahatan ini harus berani keluar dari kerangkanya yang kaku dan merangkul ilmu-ilmu lain seperti ilmu kesehatan, psikologi dan sosiologi.
Dari perspektif psikologi tindakan mesum atau melakukan pelecehan kerap dipicu oleh distorsi kognitif dan kegagalan moral seorang individu.
Selain hal itu yang tak kalah penting untuk dicermati dalam kemungkinan seseorang melalukan tindakan mesum adalah bagaimana lingkungan—baik lingkungan kerja maupun sistem hukum—membiarkan benih kejahatan itu tumbuh.
Inilah yang membuat pendekatan integratif atau multidisipliner menjadi mutlak. Hukum harus berjalan beriringan dengan ilmu lain untuk membentuk pembenahan sistem kelembagaan, penguatan budaya etika profesi, dan peningkatan kesadaran sosial.
Solusi
Kejadian yang ramai saat ini mungkin hanyalah bagian kecil. Di luar sana masih banyak kejadian serupa yang tak terungkap.
Istilah hukum menyebutnya dengan sebutan dark number of crime atau kejahatan itu ada, tetapi tidak tercatat karena tidak dilaporkan.
Solusi yang harus dilakukan agar kejadian ini tak terulang ada tiga.
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Hasil Semifinal China Masters 2025: Fajar/Fikri Gagal ke Final, Seo/Kim Berhasil Ciptakan Revans |
![]() |
---|
Mahasiswa Terlibat dalam Gerakan Hijau, 10.000 Bibit Terkumpul di Pusat Edukasi Lingkungan |
![]() |
---|
Pengakuan Laurin Ulrich Belum Tutup Pintu jadi Calon Pemain Naturalisasi Timnas Indonesia |
![]() |
---|
Meniru AS dalam Urusan Militer Sipil Adalah Berbahaya dan Keliru |
![]() |
---|
Respons KPAI terkait Kasus Keracunan MBG yang Terus Berulang: Hentikan Sementara untuk Evaluasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.