Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Kejahatan di Ruang Kesehatan, Aspek Kebijakan Hukum, dan Solusi Multidisipliner

Kejahatan tumbuh dari celah yang dibiarkan terbuka oleh sistem—baik sistem hukum maupun sistem pelayanan kesehatansendiri. Termasuk di bidang medis.

Editor: Sri Juliati
Freepik
GURU SILAT CABUL - Ilustrasi pelecehan seksual yang diunduh dari Freepik.com pada Jumat (4/4/2025). Kejahatan, bagaimana pun bentuknya, tidak lahir dari ruang hampa. Kejahatan tumbuh dari celah yang dibiarkan terbuka oleh sistem—baik oleh sistem hukum maupun sistem pelayanan kesehatan itu sendiri. Termasuk juga di bidang medis. 

Bebas hukum sebab masih banyak tempat penting yang tak dipantau oleh CCTV, tidak adanya kecurigaan pasien karena relasi kuasa, kekosongan prosedur dalam hal kewajiban mendampingi pasien, bahkan tidak ada tempat pengaduan yang aman bagi pasien untuk mengadukan pelecehan tanpa rasa takut. 

Sistem yang seharusnya hadir untuk menjaga martabat manusia malah memberi peluang bagi pelaku untuk mewujudkan niatnya.

Psikologi Relasi

Faktor lain, di luar faktor kelemahan sistem dan kelemahan pengawasan, adalah faktor psikologis. Menurut Foucault ruang periksa bukan sekadar tempat diagnostik dan terapi, melainkan juga arena produksi kuasa. 

Relasi antara dokter dan pasien bagi Foucalt tidak pernah setara. Yang satu memiliki pengetahuan dan otoritas, sementara yang lain tunduk dalam ketidaktahuan dan ketergantungan. 

Atas situasi ini muncullah apa yang disebut sebagai medical gaze atau pandangan medis yang mampu mendisiplinkan tubuh, sekaligus membungkam subjektivitas pasien.

Oleh sebab itu ruang kesehatan laksana tempat pendisiplinan. Di dalam ruang tersebut tubuh pasien tidak hanya diobservasi dan ditangani secara klinis, tetapi juga ditundukkan secara simbolik dan sosial. 

Ketika seorang dokter menyentuh, memeriksa, atau dalam tahapan tertentu memerintahkan pasien, sang dokter tidak hanya menjalankan prosedur, tetapi mereproduksi struktur kuasa yang menempatkan pasien sebagai objek, bukan subjek. Dalam struktur semacam inilah, kejahatan dapat terjadi tanpa terlihat sebagai kejahatan.

Keterlambatan Hukum

Hukum, sebagaimana tokoh wayang yang kehilangan senjata pamungkasnya, justru sering kali datang terlambat. Hukum, dalam permasalahan ini, baru bergerak setelah tubuh terluka dan air mata tumpah. 

Padahal, hukum idealnya tidak hanya menjadi pedang yang menghukum, tetapi juga tameng yang mencegah. Untuk itu maka pendekatan kebijakan hukum terhadap kejahatan ini harus berani keluar dari kerangkanya yang kaku dan merangkul ilmu-ilmu lain seperti ilmu kesehatan, psikologi dan sosiologi.

Dari perspektif psikologi tindakan mesum atau melakukan pelecehan kerap dipicu oleh distorsi kognitif dan kegagalan moral seorang individu. 

Selain hal itu yang tak kalah penting untuk dicermati dalam kemungkinan seseorang melalukan tindakan mesum adalah bagaimana lingkungan—baik lingkungan kerja maupun sistem hukum—membiarkan benih kejahatan itu tumbuh. 

Inilah yang membuat pendekatan integratif atau multidisipliner menjadi mutlak. Hukum harus berjalan beriringan dengan ilmu lain untuk membentuk pembenahan sistem kelembagaan, penguatan budaya etika profesi, dan peningkatan kesadaran sosial.

Solusi

Kejadian yang ramai saat ini mungkin hanyalah bagian kecil. Di luar sana masih banyak kejadian serupa yang tak terungkap. 

Istilah hukum menyebutnya dengan sebutan dark number of crime atau kejahatan itu ada, tetapi tidak tercatat karena tidak dilaporkan. 

Solusi yang harus dilakukan agar kejadian ini tak terulang ada tiga. 

Halaman
123
Sumber: TribunSolo.com

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved