Tribunners / Citizen Journalism
Tidak Cukup Hanya Seruan Toleransi dan Moderasi Beragama
Marginalisasi kelompok agama minoritas dan penghayat kepercayaan adalah warisan sejarah sejak awal berdirinya republik ini
Editor:
Eko Sutriyanto
Oleh : Makmur Sianipar, Ketua Umum Perkumpulan Masyarakat Teolog Indonesia (PEMASTI), dan Direktur Research Institute for Ethical Business and Political Leadership Development (Rebuild))
SEPERTI yang terjadi berulang setiap tahun, aksi penolakan terhadap kegiatan ibadah kembali mencuat pada bulan Desember ini. Peristiwa terbaru yang viral adalah penolakan perayaan Natal di Cibinong, Kabupaten Bogor, pada 8 Desember lalu (Tribunnews, 11/12).
Sebelumnya, penolakan serupa juga menimpa minoritas Ahmadiyah di Kabupaten Kuningan (cirebon.tribunnews.com, 5/12).
Menurut pantauan Imparsial, sepanjang 2024 terdapat 23 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pelaku utamanya adalah aparat pemerintah, tokoh agama, warga, dan organisasi kemasyarakatan (Tempo.co, 11/12).
Ironisnya, dalam setiap aksi intoleransi, negara justru absen sebagai pengayom rakyatnya. Negara malah tunduk pada kelompok intoleran yang memaksakan keyakinan mereka.
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menyebut pemerintah “hanya berpangku tangan. Pemerintah dan aparat penegak hukum kerap permisif terhadap kelompok intoleran dan memilih melakukan pembiaran,” (Tempo.co, 11/12).
Baca juga: Menteri Agama: Ulama Lebih Banyak Bersahabat dengan Mensos, Tapi Jarang Diundang Bappenas
Dari berita televisi, kita sering menyaksikan aparat kepolisian yang hadir dalam peristiwa intoleransi justru meminta korban untuk menghentikan kegiatan atau meninggalkan lokasi, bukan mengusir para penyerang. Ini mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak warga negaranya.
Duri dalam Daging Sejarah
Marginalisasi kelompok agama minoritas dan penghayat kepercayaan adalah warisan sejarah sejak awal berdirinya republik ini.
Semuanya bermula dari perdebatan di sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, ketika Radjiman Wedyodiningrat bertanya, “Apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” Usulan dasar negara pun beragam. Soekarno, melalui pidatonya pada 1 Juni 1945, mengajukan Pancasila sebagai jawabannya.
Perdebatan memunculkan dua faksi besar: golongan Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, dan golongan nasionalis yang mendukung Pancasila.
Panitia Sembilan yang diberikan tugas merumuskannya akhirnya mencapai kesepakatan pada 22 Juni 1945 dengan melahirkan Piagam Jakarta.
Namun, dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, rumusan Piagam Jakarta diubah. Utusan Indonesia Timur menolak bergabung jika Piagam Jakarta diberlakukan.
Meski tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan, kedudukan agama minoritas dan penghayat kepercayaan tetap terpinggirkan.
Wacana untuk kembali ke Piagam Jakarta terus muncul dari masa Orde Lama hingga Reformasi. Kesepakatan 18 Agustus 1945 yang melahirkan UUD 1945 sebagai kontrak sosial bangsa ini menyisakan “duri dalam daging” yang masih terasa hingga kini.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Rod Brazier Tabuh Bedug Istiqlal, Takjub Ruang Salat dan Lintasi Terowongan Toleransi |
![]() |
---|
Salatiga, Singkawang, dan Semarang Jadi Kota Paling Toleran, SETARA Ungkap Faktornya |
![]() |
---|
Moderasi Beragama, Alternatif Jalan Tengah Atasi Intoleransi, Ekstremisme, dan Radikalisme |
![]() |
---|
Kunci Jawaban Modul 2.1 Moderasi Beragama dan Pembangunan, Pelatihan Literasi, PINTAR Kemenag |
![]() |
---|
RMB UIN Raden Mas Said Surakarta Lanjutkan Sosialisasi Moderasi Beragama |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.