Tribunners / Citizen Journalism
Tidak Cukup Hanya Seruan Toleransi dan Moderasi Beragama
Marginalisasi kelompok agama minoritas dan penghayat kepercayaan adalah warisan sejarah sejak awal berdirinya republik ini
Editor:
Eko Sutriyanto
Ironi UU PNPS dan SKB2M Nomor 9/8 Tahun 2006
Hubungan antarumat beragama kemudian diatur dalam UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Namun, beleid ini mengandung ironi.
Pasal 29 UUD 1945 (sebelum amandemen) menjamin kebebasan memeluk agama, tetapi UU No. 1/1965 justru mendiskriminasi penghayat kepercayaan.
Dalam penjelasan Pasal (1), aliran kebatinan disebut “harus diarahkan ke pandangan yang sehat”. Seolah-olah aliran kebatinan atau penghayat kepercayaan belum sehat sehingga harus diarahkan agar sesuai dengan pandangan agama-agama yang diakui.
UU PNPS ini menjadi senjata kelompok intoleran untuk mempersekusi penghayat kepercayaan. Mereka kerap dituduh sesat atau menyembah berhala.
Diskriminasi ini muncul dari hegemoni definisi agama yang dilakukan para ahli. Maarif (2017) menjelaskan, di Barat, agama didefinisikan berdasarkan prototipe Kristen. Sedangkan di Indonesia, definisi agama mengacu pada prototipe Islam.
Akibatnya, UU No. 1/1965 PNPS hanya mengakui agama yang monoteistis, bersifat transnasional, memiliki nabi, dan kitab suci. Kepercayaan lokal suku-suku asli Indonesia tidak memenuhi kriteria ini, sehingga tidak diakui sebagai agama.
Lahirnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (populer dengan SKB2M) semakin melegitimasi intoleransi terhadap minoritas.
Aturan ini sering dijadikan dasar untuk menolak pendirian rumah ibadah atau membubarkan acara keagamaan dengan alasan tidak memiliki izin sebagai rumah ibadah.
Persyaratan minimal 90 KTP pengguna rumah ibadah dan sebanyak 60 dukungan masyarakat sekitar sering menjadi hambatan. Padahal, bagaimana rumah ibadah bisa berdiri jika persetujuan masyarakat tidak pernah diberikan?
Dibutuhkan Langkah Nyata
Selama menjabat, pemerintahan Presiden Joko Widodo gencar mengkampanyekan toleransi dan moderasi beragama.
Program penguatan moderasi beragama Jokowi ini dituangkan dalam Perpres Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama yang ditandatangani 25 September 2023.
Dalam salah satu pidatonya, Jokowi pernah menekankan bahwa kebebasan beragama dijamin konstitusi dan intoleransi tidak boleh dibiarkan.
Namun, pidato tersebut hanya menjadi retorika kosong. Hingga akhir masa jabatannya, Jokowi tidak mencabut SKB2M No. 9/8 Tahun 2006 dan UU No. 1/1965 PNPS. Padahal, kedua beleid inilah yang kerap menjadi dasar aksi intoleransi.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Rod Brazier Tabuh Bedug Istiqlal, Takjub Ruang Salat dan Lintasi Terowongan Toleransi |
![]() |
---|
Salatiga, Singkawang, dan Semarang Jadi Kota Paling Toleran, SETARA Ungkap Faktornya |
![]() |
---|
Moderasi Beragama, Alternatif Jalan Tengah Atasi Intoleransi, Ekstremisme, dan Radikalisme |
![]() |
---|
Kunci Jawaban Modul 2.1 Moderasi Beragama dan Pembangunan, Pelatihan Literasi, PINTAR Kemenag |
![]() |
---|
RMB UIN Raden Mas Said Surakarta Lanjutkan Sosialisasi Moderasi Beragama |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.