Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Rekam Jejak dan Prestasi PKB Sebagai Representasi Politik Kaum Santri

Terdapat cabang disiplin ilmu al-fiqhu al-siyasiy (fikih politik). Bahkan di kitab-kitab tasawuf juga terdapat pembahasan politik.

Editor: Husein Sanusi
Dokumen Pribadi Mukti Ali Qusyairi
Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta 

PKB Representasi Politik Kaum Santri

Oleh: KH. Mukti Ali Qusyairi, Lc. MA. (Ketua LBM PWNU DKI Jakarta)

TRIBUNNEWS.COM - Apakah kaum santri bisa absen dari politik? Tentu saja jawabannya, tidak! Setidaknya ada empat alasan untuk mengafirmasi jawaban itu. Pertama, kaum santri sejak dini sudah membaca dan mengaji teori-teori politik yang terdapat dalam khazanah klasik Islam yang disebut dengan kitab kuning yang diajarkan oleh para kiyai di pesantren-pesantren basis NU.

Terdapat cabang disiplin ilmu al-fiqhu al-siyasiy (fikih politik). Bahkan di kitab-kitab tasawuf juga terdapat pembahasan politik. Sehingga nalar kaum santri tak bisa lepas dari politik.

Seorang pemikir Maroko Mohammad Abid al-Jabiri menyatakan bahwa terdapat al-‘aqlu al-siyasiy (nalar politik) dalam konstruksi nalar Islam Arab yang ada dalam turats, legasi khazanah klasik Islam. Di antara kitab yang spesial membahas politik yaitu al-Ahkam al-Sulthaniyah karya Imam al-Mawardi dan Tibru al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk karya Imam al-Ghazali.

Kedua, Walisongo sebagai para tokoh teladan kaum santri tak sekedar berdakwah dan mengajarkan doktri Islam an sich, melainkan juga para tokoh politisi praktis yang piyawai, lihai, dan halus. Seperti Raden Fatah di Demak, Sunan Gunung Jati di Cirebon, Sultan Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati di Banten. Dan sebagian yang lain lebih memilih dakwah melalui jalur budaya dan gerakan kultural, seperti Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.

Karena itu, sampai saat ini terdapat para kiyai politik yang berjuang di jalur struktural melalui PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), dan sebagian kiyai lain lebih memilih berjuang di jalur kultural dan pesantren, madrasah, dan yang lain. Ini meneladani perjuangan struktural-kultural Walisongo.

Ketiga, kebutuhan dalam memperjuangkan pemenuhan hak dan aspirasi umat dan rakyat sercara keseluruhan. Keempat, a-politik adalah menyalahi fitrah manusia sebagai homo politique (binatang politik).

Rekam jejak
Dari berdirinya 1926-1945 NU sebagai ormas bentukan kaum santri, gerakan sosial-keagamaan, pemikiran, pemberdayaan masyarakat berbasis di pedesaan, akar rumput, dan pondok pesantren. Hampir seluruh kiyai pendiri NU terlibat dalam dunia politik mulai dari memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan melakukan perlawanan terhadap penjajahan sampai terlibat dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Sekian banyak nama kiyai yang syahid lantaran melakukan pelawanan terhadap penjajahan. Handratus Sykeh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri NU, melakukan perlawanan hingga dipenjarakan oleh penjajah Jepang. Di penjara Hadratus Syekh mengalami penganiayaan dan penyiksaan fisik.

KH. Wahid Hasyim sejak awal, selain sebagai tokoh pembaharu system pesantren, juga tokoh politisi handal. Di antara perannya yang paling menonjol yaitu aktivis pergerakan yang terlibat langsung dalam menyusun strategi perlawanan dan diplomasi kepada penjajah, panitia persiapan kemerdekaan Indonesia, dan masuk tim 9 BPUPK bersama Bung Karno, Hatta, dll, dan menjabat Menteri Agama RI pertama.

1955 pemilu pertama NU sebagai Partai Politik, masuk 3 besar. PNI (Partai Nasionalis Indonesia), 8.434.653 (22,32 persen); Masyumi 7.903.886 suara (20,92%); NU 6.955.141 suara (18,41%); PKI 6.179.914 suara (16.36%); PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) 1.091.914 suara (2,89%).

Partai NU sebagai representasi kekuatan politik Islam masuk peringkat kedua setelah PNI setelah Masyumi dibubarkan. Massa NU yang sebelumnya masih di Masyumi berpindah ke NU. Partai NU adalah inisiasi KH. Wahab Chasbillah.

Orde Lama tumbang. Diganti Orde Baru. Orba merampingkan kepartaian menjadi tiga partai yati Golkar, PDI, dan PPP. NU bergabung dalam PPP. Dan berbagai cara dan konspirasi Orba pun melemahkan NU secara politik.

Mubes NU 1983 dan Muktamar 1984 di Situbondo memutuskan bahwa NU keluar dari politik praktis dan kembali ke Khithah 26. Jargon Gus Dur, “NU tidak di mana-mana, tapi ada di mana-mana”. Kembali ke Khtihah ini lantaran tekanan rezim Orba yang cukup kuat dan sedemikian rupa terhadap NU.

Sebagian kalangan menafsirkan kembali ke khittah sebagai sikap a-politik. Padahal kembali ke hithah bukan a-politik, melainkan menempatkan NU pada tempatnya dan politik pada tempatnya sendiri. Kembali ke khithah merupakan sikap politik untuk menyelamatkan NU dari tekanan Orba. Dengan demikian, NU masih tetap bisa menjadi gerakan sosial, pendidikan, pendampingan masyarakat, kultural, civicl society, dan melakukan evaluasi serta melancarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang kurang tepat dan merugikan rakyat yang diperankan dengan baik oleh Gus Dur. Sehingga kembali ke khitthah memposisikan NU dalam memainkan peran high politics (politik tinggi).

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved