Senin, 29 September 2025

Penjualan Otomotif Terus Merosot, Ekonom UI: Industri Ini Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

Sejak Januari hingga April 2025 penjualan mobil kembali turun 2,9 persen menjadi 256.000 unit, dibandingkan periode sama di 2024, yakni 264.000 unit.

Penulis: Lita Febriani
Editor: Choirul Arifin
Tribunnews/Lita Febriani
PENJUALAN OTOMOTIF MELEMAH - Pengamat otomotif dan peneliti LPEM FEB UI Riyanto di acara diskusi "Menakar Efektivitas Insentif Otomotif" yang digelar Forum Wartawan Industri di Jakarta, Senin (19/5/2025).  

 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penjualan mobil di Indonesia selama dua tahun terakhir merosot. Di tahun 2023 volume penjualan kendaraan roda empat mencapai 1.005.802 unit, turun 4 persen dari volume penjualan di 2022.

Kemudian di 2024 penjualan mobil kembali turun lebih tajam 13,9 persen menjadi hanya 865.723 unit, dibandingkan tahun sebelumnya.

Di 2025, sejak Januari hingga April 2025 penjualan mobil kembali turun 2,9 persen menjadi 256.000 unit, dibandingkan periode sama tahun 2024, yakni 264.000 unit. 

Melemahnya penjualan mobil di 2025 diduga karena pelemahan daya beli masyarakat, pengetatan persyaratan pembiayaan kendaraan dan meningkatnya ketidakpastian ekonomi dunia, 

Pengamat otomotif dan peneliti LPEM FEB UI Riyanto menilai, industri mobil mengalami resesi lantaran penjualan turun dalam dua tahun beruntun. Ironisnya, tahun ini berlaku opsen pajak di beberapa daerah.

"Jadi, ibaratnya industri mobil sudah jatuh tertimpa tangga. Oleh sebab itu, industri mobil, terutama ICE yang stagnan membutuhkan insentif," ujarnya di acara diskusi "Menakar Efektivitas Insentif Otomotif" yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Senin (19/5/2025). 

Riyanto menerangkan, pemberian insentif berkorelasi kuat dengan penjualan. Contohnya, dengan model regresi, penjualan BEV yang mendapatkan insentif 57 persen lebih tinggi dibandingkan yang tidak.

Oleh sebab itu, ia menyarankan sudah waktunya pemerintah memperluas insentif pajak, seperti PPN DTP ke mobil ICE, LCGC, hingga hybrid, dengan patokan emisi. Faktanya, emisi BEV berdasarkan metode well to wheel tidak lebih rendah dari hybrid.

PENJUALAN OTOMOTIF MELEMAH - Pengamat otomotif dan peneliti LPEM FEB UI Riyanto di acara diskusi
PENJUALAN OTOMOTIF MELEMAH - Pengamat otomotif dan peneliti LPEM FEB UI Riyanto di acara diskusi "Menakar Efektivitas Insentif Otomotif" yang digelar Forum Wartawan Industri di Jakarta, Senin (19/5/2025). (Tribunnews/Lita Febriani)

"Penjualan mobil listrik ini meningkat cukup besar setelah mendapat insentif. Jadi insentif di tengah jatuh tertimpa tangga itu menjadi penting. Itu akan menjadi trigger untuk mendorong pasar lagi. Usulannya supaya long term itu memang bagus, seperti Malaysia, kebijakan pas pandemi nggak dicabut-cabut," kata Riyanto.

Menurutnya, efek insentif LCGC, HEV dan ICE lebih besar ke ekonomi dibandingkan BEV. Saat ini, BEV menghadapi tantangan berupa kecemasan jarak tempuh dan keterbatasan infrastruktur SPKLU.

Riyanto menambahkan, BEV (Battery Electric Vehicle) lebih banyak diburu pemilik mobil kedua dan ketiga, bukan mobil pertama.

Baca juga: Penjualan Mobil Listrik Denza Meroket, Kemenperin: Tahun Depan Mereka Harus Mulai Produksi di RI

Sebaliknya, mobil ICE, LCGC dan HEV berpeluang menjadi mobil pertama, karena tidak menghadapi tantangan tersebut.

"Dalam jangka pendek, perlu kebijakan fiskal seperti saat pandemi, entah itu diskon PPN atau PPnBM untuk menyelamatkan industri dari krisis. Hal yang penting adalah harga kendaraan turun," ungkap Riyanto.

Baca juga: Penjualan Daihatsu Terkonstraksi, Januari-April 2025 Jual 46.718 Unit

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan