Sosok Lita Gading dan Syamsul Jahidin, Penggugat Tunjangan Pensiun Seumur Hidup DPR ke MK
Aturan tunjangan pensiun seumur hidup mantan anggota DPR digugat oleh Lita Gading dan Syamsul Jahidin ke MK
TRIBUNNEWS.COM - Gugatan dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperkarakan tunjangan pensiun seumur hidup bagi mantan anggota DPR yang dinilai membebani APBN.
Di balik perkara nomor 176/PUU-XXIII/2025 yang diajukan pada 30 September 2025, berdiri dua figur, yakni psikolog senior dr. Lita Linggayani Gading dan pengacara konstitusional Syamsul Jahidin.
Kolaborasi mereka menargetkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Asas-asas Pemerintahan yang Baik, menyoroti ketidakadilan sistem yang memberikan hak istimewa kepada elite politik sambil merugikan rakyat biasa.
Lita Linggayani Gading, yang akrab disapa dr. Lita Gading, lahir di Jakarta pada 10 September 1975.
Sebagai psikolog berpengalaman lebih dari dua dekade, ia dikenal sebagai praktisi klinis yang vokal dalam isu kesehatan jiwa dan sosial.
Pendidikannya yang solid di bidang psikologi menjadikannya narasumber andalan di media massa, termasuk komentarnya pada Mei 2024 tentang kasus kesurupan saksi pembunuhan Vina Cirebon yang menyoroti aspek kejiwaan.
Lita juga sempat menjadi sorotan pada Juli 2025 ketika dilaporkan ke polisi oleh musisi Ahmad Dhani atas tuduhan perundungan anak—kasus yang masih bergulir.
Di luar klinik, ia menjajal dunia hiburan sebagai artis televisi, membahas topik trauma dan gangguan mental yang sering terabaikan.
"Keadilan sosial dimulai dari pemahaman hak dan kewajiban yang adil," ujarnya dalam sebuah wawancara.
Sosok Syamsul Jahidin
Bersama Lita, Syamsul Jahidin membawa kekuatan hukum ke gugatan ini.
Baca juga: Tunjangan Pensiun DPR Rp226 Miliar Digugat, Puan: Tidak Bisa Sepihak
Pria asal Pontianak ini adalah pengacara konstitusional dan managing partner di ANF Law Firm (terdaftar AHU-0000456-AH.01.22 Tahun 2022).
Saat ini, Syamsul sedang menempuh doktor (Dr. cand.) di Universitas 17 Agustus 1945 (UTA'45), setelah gelar S.I.Kom, S.H, magister hukum militer, dan komunikasi di STHM.
Sertifikasinya mencakup M.M, CIRP, CCSMS, CCA, dan C.Med, menjadikannya ahli di litigasi, kepailitan, mediasi, serta advokasi konstitusional.
Sebagai dosen hukum dan anggota Dewan Pengacara Nasional (DPN), ia aktif berbagi ilmu melalui Instagram @syamsul_jahidin, di mana ia membahas kasus-kasus kompleks dan ekspansi firma hukumnya.
"Hukum adalah alat untuk keadilan sosial," tulisnya dalam salah satu postingan, yang kini menjadi mantra bagi ribuan pengikutnya.
Gugatan ini lahir dari frustrasi bersama atas tunjangan pensiun DPR yang dianggap tak proporsional.
Yang Digugat
Berdasarkan Surat Menteri Keuangan No. S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, mantan anggota DPR yang menjabat hanya satu periode (lima tahun) berhak atas 60 persen gaji pokok seumur hidup, plus tunjangan hari tua Rp15 juta sekali bayar.
Sejak 1980, sekitar 5.175 penerima telah membebani APBN hingga Rp226 miliar.
"Rakyat bekerja 10-35 tahun untuk pensiun, sementara dewan hanya lima tahun sudah seumur hidup. Ini tidak adil," tegas Lita, yang merasa dirugikan sebagai wajib pajak.
Syamsul menambahkan bahwa status DPR sebagai Lembaga Tinggi Negara tak boleh jadi alasan hak istimewa, bertentangan dengan asas keadilan sosial UUD 1945.
Respons Puan
Baca juga: Saat Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR Digugat ke MK
Ketua DPR RI Puan Maharani menanggapi gugatan warga tentang tunjangan pensiun anggota DPR yang diajukan ke MK.
Menurut Puan, aspirasi publik adalah hal yang sah dan perlu dihargai, namun pelaksanaannya tetap harus mengacu pada aturan hukum yang berlaku.
“Kita hargai aspirasi, tapi semuanya itu ada aturannya. Kita lihat dulu aturannya,” ujar Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/10/2025).
Puan menekankan bahwa regulasi soal pensiun tidak bisa dipandang dari sudut satu lembaga saja.
Ia menyebut, aturan tersebut bersifat menyeluruh dan berlaku lintas institusi.
“Tidak bisa kita hanya berbicara kepada satu lembaga atau lembaga, tapi aturannya ini kan menyeluruh. Jadi kita lihat aturan yang ada,” lanjut Ketua DPP PDIP itu.

Gugatan tersebut diajukan oleh dua warga, Lita Gading dan Syamsul Jahidin, yang resmi mendaftarkan permohonan uji materiil ke MK. Perkara tersebut teregister dengan nomor 176/PUU-XXIII/2025, sebagaimana tercantum di laman resmi MK pada Rabu (1/10/2025).
Dalam permohonannya, mereka meminta MK menguji Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi Negara, serta Bekas Pimpinan dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara. Fokus uji materi berada pada Pasal 1 huruf A dan F, serta Pasal 12.
Pemohon menilai, Pasal 1 huruf A membuka celah bagi anggota DPR yang hanya menjabat selama lima tahun untuk tetap memperoleh pensiun seumur hidup, bahkan dapat diwariskan. Mereka juga menyoroti besarnya beban APBN untuk membiayai pensiun DPR, yang disebut mencapai Rp226.015.434.000.
Skema pensiun DPR diatur dalam Pasal 13 UU 12/1980, yang menetapkan bahwa besaran pensiun pokok sebulan adalah 1 persen dari dasar pensiun untuk tiap satu bulan masa jabatan, dengan ketentuan minimal 6?n maksimal 75?ri dasar pensiun. Berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, pensiun DPR diperkirakan mencapai sekitar 60?ri gaji pokok.
Pemberian pensiun ini berlaku seumur hidup dan dapat diteruskan kepada pasangan yang masih hidup dengan jumlah lebih kecil apabila anggota DPR meninggal dunia. Selain itu, anggota DPR juga menerima Tunjangan Hari Tua (THT) sebesar Rp15 juta yang dibayarkan satu kali setelah masa jabatan berakhir.
Isu tunjangan DPR mencuat tak lama setelah demonstrasi besar-besaran yang berlangsung pada 25–31 Agustus 2025 di sejumlah kota, termasuk Jakarta, Bandung, dan Makassar. Aksi yang semula digerakkan oleh mahasiswa dan kelompok sipil untuk menolak revisi UU Minerba dan RUU Keamanan Digital, berubah menjadi rusuh setelah muncul kabar kenaikan tunjangan rumah DPR dari Rp3,75 juta menjadi Rp50 juta per bulan. Kenaikan itu disebut sebagai kompensasi atas penghapusan rumah dinas anggota DPR.
Dalam pernyataan sebelumnya, Puan Maharani menyebut bahwa tunjangan tersebut bukan kenaikan gaji, melainkan penyesuaian fasilitas. Namun, publik menilai nominalnya tidak proporsional di tengah tekanan ekonomi dan pemangkasan anggaran kementerian.
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Chaerul Umam)
Sumber: TribunSolo.com
Kunci Jawaban Modul 3.7 Penggunaan Aplikasi Nearpod dalam Pembelajaran, Pelatihan PINTAR Kemenag |
![]() |
---|
Pengakuan E, Pejabat Pemkab Majalengka yang Selingkuh, Singgung Kehamilan |
![]() |
---|
Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 2 Halaman 84: Jurnal Membaca |
![]() |
---|
BNPB: Masih Ada 59 Orang yang Hilang setelah Musala Ponpes Al Khoziny Ambruk |
![]() |
---|
Nikita Mirzani Cekikikan sambil Joget saat Dengarkan Saksi Ahli, Tessa Mariska: Dia Happy |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.