Jumat, 3 Oktober 2025

Edi Suharto: yang Seharusnya Bertanggung Jawab di Kasus Korupsi Beras Bansos Pak Juliari, Bukan Saya

Edi Suharto mengklaim bukan dia yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus korupsi beras bansos tahun 2020, tapi Juliari Batubara.

Tribunnews.com/Ibriza
KORUPSI BANSOS - Konferensi pers Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Perubahan dan Dinamika Sosial Edi Suharto terkait Klarifikasi Kasus Bantuan Sosial (Bansos) 2020 yang menjeratnya, di Jakarta Pusat, Kamis (2/10/2025). Kuasa hukum Edi Suharto, Faizal Hafied mengatakan, kliennya merupakan korban menjalankan perintah jabatan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Staf Ahli Menteri Sosial Edi Suharto mengklaim bukan dia yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus korupsi beras bansos tahun 2020.

Edi menegaskan, mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus tersebut.

Baca juga: Juliari Batubara dan Bambang Tanoesoedibjo Bersaksi di Sidang Korupsi Bansos Beras

"Bahwa yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus ini adalah Pak Juliari, bukan saya. Bukan saya, tapi Pak Juliari. Oleh karenanya, saya mohon keadilan yang seadil-adilnya," kata Edi, dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Kamis (2/10/2025).

Edi menjelaskan, peristiwa tersebut bermula dari Juliari Batubara yang memanggil para pejabat Kementerian Sosial untuk mengikuti rapat pimpinan, pada 2020 lalu.

 

 

Dalam rapat tersebut, kata Edi, Juliari menyampaikan bahwa Kemensos akan menyalurkan bantuan beras Bulog bagi 10 juta keluarga miskin untuk mengurangi beban masalah sosial mereka selama menghadapi pandemi COVID-19. 

Edi menyebut, penyaluran beras bansos tersebut ditugaskan Juliari kepada Dirjen Pemberdayaan Sosial (Dayasos) yang saat itu dipimpinnya.

"Sebenarnya penugasan Pak Juliari ke Dirjen Dayasos ini tidak sesuai dengan tupoksi kami di Dayasos," ucapnya.

"Saya telah menyampaikan hal itu, keberatan tersebut, terhadap penugasan ini. Namun, Pak Juliari tetap memaksa menugaskan Dayasos dengan alasan pembagian beban tugas dengan Direktorat Jenderal yang lain," sambungnya.

Edi kemudian mengatakan, sejak awal dia tidak ingin ada transporter dalam pelaksanaan distribusi bansos di lapangan. 

Oleh karena itu, pihaknya sempat dua kali bersurat kepada Bulog agar Bulog sekaligus menjadi transporternya. 

"Jadi selain Bulog menyiapkan berasnya, juga membagikan beras itu kepada keluarga penerima manfaat. Ini sesuai dengan pengalaman Bulog yang sebelumnya," jelas Edi.

Lanjut Edi, Bulog kemudian membalas surat dari Dirjen Dayasos dan menyampaikan, bahwa Bulog hanya mau menyalurkan beras sampai tingkat desa atau kelurahan saja. 

Hal itu juga diperkuat dengan perintah Juliari Batubara agar pelaksanaan distribusi bansos tetap menggunakan jasa transporter.

"Pak Juliari bersikeras memerintahkan tetap ingin ada transporter yang menyalurkan beras sampai pada titik bagi (bansos) di tingkat RT atau RW," jelasnya.

Berlanjut pada tahap pencarian vendor untuk transporter, Edi mengatakan, dia sempat diperintahkan langsung oleh Juliari untuk bertemu perusahaan POS dan DNR. 

"Ini mengagetkan sekaligus menimbulkan pertanyaan saya. Kenapa? Karena kalau POS saya tahu, kalau DNR saya belum tahu. Oleh karenanya saya tanya pada Pak Juliari saat itu, DNR ini perusahaan apa? Jawab Pak Juliari, 'DNR ini perusahaan milik teman saya'," jelasnya.

"Sejak saat itu saya tahu, DNR ini adalah milik temannya Pak Juliari. Tapi saya tidak mau bertemu dengan pihak POS dan DNR untuk menghindari komplik kepentingan. Dan memang saya tidak pernah menemuinya," tambahnya.

Kemudian, kata Edi, pada proses pembelian transporter, Juliari Batubara menetapkan bobot 80 persen untuk harga dan 20 persen untuk penilaian lainnya. 

Hal ini, menurutnya, menyebabkan hanya 3 transporter yang terpilih, yaitu JNA, BGR, dan DNR.

"Kemudian di dalam pertemuan itu, Pak Juliari menetapkan penawaran harga sebesar Rp1.500 ribu per kilogram. Maka secara otomatis terpilihlah BGR dan DNR," jelasnya.

Selain itu, Edi juga mengatakan, untuk mengawal program ini agar berjalan sesuai ketentuan sebagai tugas dan tanggung jawab pihaknya saat itu, maka dibuatlah petunjuk teknis (juknis). 

Namun, tambahnya, ketika program sudah berjalan, Juliari Batubara melalui pesan singkat di grup WhatsApp pimpinan Kemensos, memerintahkan Sesditjen untuk menyampingkan aturan yang berlaku.

"'Pak Sesditjen, tolong aturan terkait pengiriman beras ke KPM (keluarga penerima manfaat) agar betul-betul dicermati dengan keadaan lapangan. Artinya jangan kita buat aturan yang terlalu berat, yang ternyata tidak terlalu realistis diterapkan di lapangan, namun kita buat, akibatnya akan menyulitkan kita sendiri pada saat pemeriksaan'," kata Edi membacakan pesan WhatsApp dari Juliari Batubara.

Ia menilai, isi dari WhatsApp Juliari tersebut pada intinya merupakan perintah yang sangat menguntungkan transporter dalam menyalurkan beras. 

"Sampai di sini, sebenarnya sudah jelas siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus ini. Yaitu Pak Juliari," pungkasnya.

KPK Tetapkan Lima Tersangka Kasus Bansos 2020

Nama Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Perubahan dan Dinamika Sosial, Edi Suharto, menjadi salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyaluran bantuan sosial (bansos) beras untuk Program Keluarga Harapan (PKH) tahun anggaran 2020.

Bansos PKH merupakan program bantuan sosial dari pemerintah yang diberikan kepada keluarga miskin dan rentan.

Termasuk Edi Suharto, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tida orang tersangka dan dua korporasi yang diduga terlibat.

Selain Edi Suharto, tersangka lain adalah pengusaha Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo (BRT) alias Rudy Tanoe.

Rudy Tanoe merupakan Presiden Direktur PT Dosni Roha Indonesia (DNR) sekaligus kakak pengusaha Hary Tanoesoedibjo.

Tersangka ketiga yang dijerat adalah Kanisius Jerry Tengker (KJT), Direktur Utama PT Dosni Roha Logistik periode 2018–2022.

Kerugian negara dalam kasus ini ditaksir sangat besar. Dari total anggaran proyek sekitar Rp336 miliar, KPK melakukan penghitungan awal kerugian negara yang mencapai Rp200 miliar.

"KPK menaikkan perkara ini ke penyidikan, ini penyidikan baru. Kami mulai penyidikannya di Agustus ini," ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (19/8/2025) malam.

Sementara dua korporasi yang diduga terlibat adalah PT Dosni Roha Indonesia dan PT Dosni Roha Logistik.

"Penyidik melihat memang tindakan-tindakan yang dilakukan terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam pengangkutan atau penyaluran bansos beras ini adalah tindakan-tindakan korporasi," jelas Budi.

Dalam proses penyidikan, KPK telah melakukan pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap Rudy Tanoe, Edi Suharto, Kanisius Jerry Tengker, dan Herry Tho (Direktur Operasional PT Dosni Roha Logistik) sejak 12 Agustus 2025 untuk enam bulan ke depan.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved