Tribunners / Citizen Journalism
Program Makan Bergizi Gratis
MBG dan 'Racun Calo' Pengadaan: saat Gizi Menjadi Ladang Komisi
Sejak awal skema MBG sudah tampak cacat, Anggaran Rp10.000 per porsi dipaksakan jadi standar gizi nasional meski logika dasar menolak angka itu.
Editor:
Theresia Felisiani
MBG dan 'Racun Calo' Pengadaan: saat Gizi Menjadi Ladang Komisi
Oleh Tri Wibowo Santoso, Peneliti Lembaga Studi Data dan Informasi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan sebagai implementasi dari janji mulia, simbol keberpihakan pada masa depan anak bangsa.
Tapi, dalam pelaksanaannya justru membuka borok lama yang tak kunjung sembuh: kerakusan dalam pengadaan, rente dalam distribusi, dan tipu-tipu dalam pelabelan anggaran.
Apa yang diimpikan sebagai revolusi gizi nasional kini bergeser menjadi parade pengadaan yang penuh aroma sogokan, mark-up, dan calo kebijakan.
Sejak awal, skema MBG sudah tampak cacat. Anggaran Rp10.000 per porsi dipaksakan menjadi standar gizi nasional meski logika paling dasar pun menolak angka tersebut.
Dalam dunia ilmu gizi, angka itu bahkan tidak mencukupi untuk membeli protein hewani standar, apalagi jika sudah dikurangi dengan potongan di berbagai titik pengadaan.
Tidak heran jika kemudian muncul makanan basi, lauk berbau, atau bahkan keracunan massal di berbagai daerah.
Baca juga: Ikan Hiu Saus Tomat Diduga Jadi Biang Keladi Keracunan MBG di SDN 12 Benua Kayong Ketapang
Masalah ini bukan karena niatnya keliru. Masalah ini lahir karena sistem pelaksanaannya dirusak oleh pola lama: pengkondisian proyek, komisi di setiap mata rantai, vendor titipan, dan skema tender tertutup.
Semua yang terlibat dalam rantai pelaksanaan seolah tahu, bahwa untuk bisa ikut bagian dalam proyek ini, ada “biaya siluman” yang harus dibayarkan.
Komisi kepada oknum di internal kementerian, setoran untuk meloloskan SPPG, bahkan kabarnya juga pungutan untuk mendapatkan lokasi dapur. Ini yang membuat harga real turun jauh dari harga di atas kertas. Maka jangan kaget kalau dapur MBG tidak punya pendingin, tidak memiliki izin kesehatan, dan tidak layak operasional.
Menurut Transparency International Indonesia, MBG adalah contoh klasik proyek publik yang dikepung oleh risiko korupsi sistemik. Mulai dari perencanaan tanpa dasar hukum yang memadai, pengadaan yang tidak transparan, hingga distribusi yang minim pengawasan.
Sampai bulan September 2025, lebih dari 6.000 siswa dilaporkan mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program ini. Di Lebong, 539 anak menjadi korban. Di Jakarta Utara, kasus keracunan disembunyikan agar tidak mencoreng wajah politik.
Tapi skandal ini tidak berhenti di soal makanan rusak. Program yang seharusnya memperbaiki gizi anak justru dimasukkan dalam pos anggaran pendidikan demi mencapai angka semu 20 persen amanat konstitusi. Alih-alih memperbaiki kualitas sekolah, pemerintah menjadikan MBG sebagai alat untuk memoles laporan keuangan. Ini bentuk kebohongan kebijakan yang membajak semangat konstitusi untuk kepentingan pelaporan administratif.

Ketika kritik muncul, pemerintah justru terlihat gagap. Kementerian Keuangan mulai melempar wacana pencabutan anggaran MBG bila dana tidak terserap. Sebagai pengganti, muncul dua opsi baru yang justru memperlihatkan kebingungan arah: bantuan beras dan uang tunai. Satu menyasar perut kenyang, satu lagi menyerahkan urusan gizi kepada kemampuan belanja warga. Ini bukan solusi. Ini lari dari tanggung jawab.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.