Paparan Gas Air Mata Berulang Berpotensi Risiko Kesehatan Jangka Panjang, Ini Penjelasan Dokter
Berikut penjelasan dari dokter tentang paparan Gas Air Mata yang berulang dapat berpotensi risiko kesehatan jangka panjang.
TRIBUNNEWS.COM - Gas air mata kerap digunakan sebagai alat pengendalian massa dalam situasi demonstrasi atau kerusuhan.
Gas air mata ini bukan hanya menimbulkan ketidaknyamanan sementara, tetapi juga berpotensi memicu gangguan kesehatan serius.
Dilansir dari situs resmi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah V Yogyakarta, para ahli kesehatan mengingatkan bahwa paparan berulang terhadap gas air mata ini bukanlah hal yang bisa dianggap sepele.
Sejumlah risiko kesehatan jangka panjang bisa mengintai, terutama bagi individu yang terpapar secara terus-menerus atau dalam durasi yang lama.
Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif RS PKU Gamping, dr. Ardi Pramono, menjelaskan bahwa gas air mata sejatinya merupakan senyawa kimia yang bekerja dengan cara mengiritasi selaput mukosa tubuh manusia.
Gas Air Mata Mengandung Zat Iritan
Dokter yang sekaligus dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut menegaskan gas air mata pada dasarnya mengandung zat iritan, dengan senyawa yang paling umum digunakan adalah chlorobenzylidene malononitrile (CS).
"Zat ini bekerja dengan mengiritasi membran mukosa seperti selaput mata, hidung, dan mulut. Itu sebabnya, ketika terpapar, mata terasa sangat perih, merah, berair, dan sulit dibuka. Pada saat yang sama, mukosa di hidung maupun tenggorokan juga merasakan sensasi panas dan pedih yang memicu batuk hingga sesak napas," jelas dr. Ardi.
Menurutnya, kerusakan paling dominan akibat paparan gas air mata terjadi pada lapisan luar selaput mukosa.
Mukosa sendiri merupakan lapisan tipis yang melindungi bagian dalam organ tubuh.
Jika mengalami iritasi berulang, lapisan ini berpotensi mengalami peradangan.
Baca juga: Dokter Spesialis Paru Ungkap 4 Faktor Berat Ringannya Dampak Gas Air Mata
Efek gas air mata umumnya bersifat cepat dan intens, namun biasanya hanya berlangsung singkat.
Dalam kondisi normal, iritasi bisa mereda dalam 15 hingga 30 menit, terutama jika konsentrasi gas di udara menurun karena angin.
Risiko pada Individu dengan Penyakit Pernafasan
Risiko lebih serius dapat terjadi pada individu dengan penyakit pernapasan kronis.
Jika seseorang memiliki riwayat asma atau bronkitis, paparan gas air mata bisa memicu kekambuhan dan memperburuk kondisi paru-parunya.
Begitu juga penderita penyakit mata kronis, gas air mata akan memperparah iritasi yang sudah ada.
"Jadi meskipun dampaknya sementara, efeknya bisa lebih berat pada kelompok rentan. Gangguan pernapasan juga bisa bertahan lebih lama, terutama jika gas dihirup dalam konsentrasi tinggi dan dalam waktu lama," tambahnya.
Pertolongan Pertama
Dalam kondisi darurat, langkah pertolongan pertama menjadi sangat penting.
Dokter Ardi menegaskan, penanganan sederhana dapat membantu mencegah iritasi semakin parah.
"Pertolongan pertama yang paling efektif adalah menjauh dari lokasi paparan dan mencuci bagian tubuh yang terkena dengan air bersih mengalir sebanyak-banyaknya," ungkapnya.
Tidak ada obat penawar khusus untuk gas air mata, sehingga cara terbaik adalah membersihkan dengan air.
"Jika masih terasa sesak, asma kambuh, atau mata tetap perih parah, maka harus segera ke unit gawat darurat. Apalagi ketika ada iritasi kulit berupa kemerahan atau rasa panas, itu juga perlu penanganan medis," jelasnya.
Masyarakat pun diimbau agar tidak berlama-lama berada di area yang penuh gas air mata.
Segera menjauh, hindari mengucek mata, lalu cuci dengan air bersih sebanyak mungkin.
Dokter Ardi menekankan, meski paparan singkat umumnya tidak menimbulkan dampak jangka panjang, paparan berulang atau berkepanjangan dapat memperparah kondisi kesehatan, terutama pada kelompok rentan.
Baca juga: 7 Cara Mengatasi Gas Air Mata yang Terbukti Efektif, Lakukan Ini Jika Terpapar!
Sejarah Penemuan Gas Air Mata
Diwartakan Tribunnews.com sebelumnya, sebagai salah satu senjata non-mematikan, gas air mata kerap digunakan aparat keamanan untuk mengendalikan kerusuhan maupun membubarkan massa.
Meski disebut “gas”, gas air mata sebenarnya berbentuk partikel padat yang tersebar di udara dalam wujud aerosol.
Paparan gas air mata dapat menyebabkan mata perih dan berair, saluran pernapasan terasa sesak, serta menimbulkan sensasi terbakar pada kulit untuk sementara waktu.
Mengutip Science History, ide pembuatan gas air mata berawal dari eksperimen ilmuwan Jerman yang berhasil menciptakan chloroacetophenone pada akhir abad ke-19.
Beberapa tahun kemudian, di awal abad ke-20, ahli kimia Prancis melanjutkan penelitian ini dengan tujuan menemukan cara baru untuk digunakan sebagai senjata pengendali kerusuhan massa.
Gas air mata pertama kali digunakan pada Perang Dunia I.
Menurut Britannica, saat itu senjata kimia ini cukup efektif untuk mengacaukan barisan musuh, menyengat mata, dan melemahkan tenaga tentara.
Namun, karena efeknya hanya sementara dan tidak mematikan dalam waktu singkat, gas air mata akhirnya mulai ditinggalkan sebagai alat perang.
Setelah pertama kali digunakan dalam konteks militer pada Perang Dunia I, gas air mata mulai dialihkan penggunaannya ke ranah sipil.
Pada tahun 1921, Divisi Perang Kimia (CWD) memulai penelitian untuk mengeksplorasi potensi gas air mata sebagai alat pengendali kerusuhan.
Tujuannya adalah membubarkan kerumunan tanpa menimbulkan korban jiwa, berbeda dengan penggunaan senjata konvensional.
Seiring berjalannya waktu, gas air mata pun menjadi alat standar bagi kepolisian di berbagai negara dalam menghadapi aksi demonstrasi, mulai dari unjuk rasa politik hingga protes sosial.
(Tribunnews.com/Latifah)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.