Senin, 29 September 2025

Waktunya Muda Mudi Dapat Wawasan

Sejarah Gas Air Mata dan Kontroversi Penggunaannya

Sebagai salah satu senjata non-mematikan, gas air mata kerap digunakan aparat untuk mengendalikan kerusuhan maupun membubarkan massa.

Editor: Content Writer
Istimewa
GAS AIR MATA - Ilustrasi polisi saat menembakkan gas air mata. Zat ini kerap digunakan aparat untuk mengendalikan kerusuhan maupun membubarkan massa. 

TRIBUNNEWS.COM - Sebagian orang mungkin sudah tidak asing dengan gas air mata atau tear gas. Zat ini kerap muncul setiap kali terjadi aksi demonstrasi, seperti yang saat ini terjadi di sejumlah wilayah ketika masyarakat menggelar aksi unjuk rasa untuk menuntut kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.

Sebagai salah satu senjata non-mematikan, gas air mata kerap digunakan aparat keamanan untuk mengendalikan kerusuhan maupun membubarkan massa. Meski disebut “gas”, gas air mata sebenarnya berbentuk partikel padat yang tersebar di udara dalam wujud aerosol. Paparan gas air mata dapat menyebabkan mata perih dan berair, saluran pernapasan terasa sesak, serta menimbulkan sensasi terbakar pada kulit untuk sementara waktu.

Menjadi alat yang selalu hadir saat adanya kerumunan massa, bagaimana sebenarnya gas air mata bisa sampai digunakan seperti sekarang?

Penemuan Gas Air Mata

Mengutip Science History, ide pembuatan gas air mata berawal dari eksperimen ilmuwan Jerman yang berhasil menciptakan chloroacetophenone pada akhir abad ke-19. Beberapa tahun kemudian, di awal abad ke-20, ahli kimia Prancis melanjutkan penelitian ini dengan tujuan menemukan cara baru untuk digunakan sebagai senjata pengendali kerusuhan massa.

Gas air mata pertama kali digunakan pada Perang Dunia I. Menurut Britannica, saat itu senjata kimia ini cukup efektif untuk mengacaukan barisan musuh, menyengat mata, dan melemahkan tenaga tentara. Namun, karena efeknya hanya sementara dan tidak mematikan dalam waktu singkat, gas air mata akhirnya mulai ditinggalkan sebagai alat perang.

Penggunaan Gas Air Mata dalam Aksi Demonstrasi

Setelah pertama kali digunakan dalam konteks militer pada Perang Dunia I, gas air mata mulai dialihkan penggunaannya ke ranah sipil. Pada tahun 1921, Divisi Perang Kimia (CWD) memulai penelitian untuk mengeksplorasi potensi gas air mata sebagai alat pengendali kerusuhan. Tujuannya adalah membubarkan kerumunan tanpa menimbulkan korban jiwa, berbeda dengan penggunaan senjata konvensional.

Baca juga: Aturan Penggunaan Gas Air Mata oleh Polisi saat Demo

Pada akhir 1923, lebih dari 600 kota di Amerika Serikat mulai menerapkan penggunaan gas air mata, dengan Chicago dan New York sebagai pelopornya. Kedua kota ini menggunakan granat gas air mata untuk membubarkan kerusuhan serta menangkap para pelaku kejahatan.

Seiring berjalannya waktu, gas air mata pun menjadi alat standar bagi kepolisian di berbagai negara dalam menghadapi aksi demonstrasi, mulai dari unjuk rasa politik hingga protes sosial.

Polemik Penggunaan Gas Air Mata

Meskipun digolongkan sebagai senjata “non-mematikan”, penggunaannya tetap menuai perdebatan karena dapat menimbulkan dampak kesehatan sekaligus berpotensi disalahgunakan di lapangan.

Di Indonesia, penggunaan gas air mata kerap memicu kontroversi. Salah satu peristiwa paling tragis terkait hal ini adalah Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 di Malang. Saat itu, penembakan gas air mata ke arah tribun yang dipenuhi penonton memicu kepanikan besar. Pintu keluar yang sempit membuat ribuan orang saling berdesakan hingga lebih dari 125 orang kehilangan nyawa. 

Dari sisi kesehatan, paparan gas air mata dapat menimbulkan berbagai reaksi pada tubuh. Zat kimia di dalamnya biasanya membuat mata terasa perih, panas, dan berair, lalu saluran pernapasan terganggu hingga menimbulkan batuk keras dan sesak napas. Pada kulit, efeknya dapat berupa rasa panas seperti terbakar, sementara dalam kondisi tertentu seseorang juga dapat mengalami mual, muntah, hingga kebingungan sesaat.

Umumnya, gejala ini akan mereda dalam hitungan menit sampai beberapa jam setelah menjauh dari sumber paparan dan membersihkan diri. Namun, bila terkena dalam jumlah besar atau dalam jangka waktu lama, gas air mata bisa menimbulkan risiko serius, terutama bagi anak-anak, lansia, atau mereka yang memiliki masalah pernapasan.

Pada awalnya, gas air mata memang dirancang sebagai cara yang dianggap “aman” untuk meredakan kerusuhan tanpa menimbulkan korban jiwa. Namun, penyalahgunaannya justru bisa berbalik membawa maut. Karena itu, aturan tegas sangat dibutuhkan agar penggunaannya tetap sesuai dengan tujuan awal penciptaannya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan