Minggu, 5 Oktober 2025

Beras Oplosan

Anggota Komisi IV DPR: Hampir 25 Persen Beras di Pasar Diduga Oplosan

Dia menyesalkan praktik curang yang dilakukan oleh oknum perusahaan dalam menjual beras berkualitas rendah dengan label premium. 

Penulis: Reza Deni
Ibriza/Tribunnews
TUMPUKAN KARUNG BERAS - Kondisi Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (25/6/2025). Anggota Komisi IV DPR RI, Riyono Caping menyoroti soal peredaran beras oplosan yang merugikan konsumen dan mencederai petani lokal.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR RI, Riyono Caping menyoroti soal peredaran beras oplosan yang merugikan konsumen dan mencederai petani lokal. 

Hal ini menyusul temuan Satgas Pangan terkait 212 perusahaan yang diduga bertanggung jawab atas kerugian konsumen senilai Rp3,2 triliun akibat praktik pengoplosan beras.

Baca juga: Guru Besar IPB Beberkan Hasil Kajian soal Temuan Dugaan Kecurangan Produsen Beras

“Jika dihitung secara kasar, dengan kerugian Rp5.000 per kilogram, maka total beras oplosan yang beredar bisa mencapai 700.000 ton. Padahal, kebutuhan beras nasional per bulan adalah sekitar 2,6 juta ton. Artinya, hampir 25 persen beras di pasar diduga merupakan beras oplosan,” ujar Riyono kepada wartawan, Senin (14/7/2025).

Dia menyesalkan praktik curang yang dilakukan oleh oknum perusahaan dalam menjual beras berkualitas rendah dengan label premium. 

Baca juga: Mentan Amran Sebut Praktik Beras Premium Oplosan Bentuk Pengkhianatan Terhadap Petani dan Konsumen

“Ini sangat merusak. Tidak hanya merugikan konsumen, tapi juga menciderai perjuangan petani kita yang sudah menghasilkan beras berkualitas tinggi musim ini,” tegasnya.

Menurut Politisi PKS itu, keberhasilan petani dalam meningkatkan produksi nasional seharusnya dihargai dan dilindungi

"Petani layak mendapat reward atas capaian produksinya. Harga yang baik untuk Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG), dan beras di pasar akan menjadi puncak kebahagiaan mereka,” tambahnya.

Riyono menyatakan bahwa sebenarnya beras petani lokal sudah memiliki kualitas premium yang alami. 

“Beras dari petani kita itu enak, cocok dengan lidah masyarakat Indonesia, dan masih sangat terjangkau di pasaran," katanya.

Namun, menurutnya, fenomena beras oplosan ini menunjukkan lemahnya tata kelola perberasan nasional. 

“Peredaran beras negara masih belum terkendali. Dari sekitar 2,5 juta ton beras yang beredar di pasar tiap bulan, hanya sekitar 5 persen atau 100 ribu ton yang dikendalikan oleh Bulog. Sisanya, 2,4 juta ton, sepenuhnya berada di tangan swasta,” ungkapnya.

Kondisi ini menurutnya sangat rawan penyimpangan, mulai dari pengoplosan hingga potensi penyelundupan. Karena itu, Riyono menyerukan agar negara hadir secara penuh dalam pengelolaan beras, dari hulu hingga hilir. 

“Negara tidak boleh hanya menjadi penonton. Minimal negara harus mengendalikan 20 persen hingga 50 persen dari pasar beras, agar distribusi dan tata niaga tidak dikuasai oleh segelintir pemain swasta,” tegasnya.

Dia juga menekankan pentingnya memperkuat kehadiran BUMN pangan untuk menjaga keamanan pangan rakyat. 

Baca juga: Banyak Beras Tak Layak Konsumsi Beredar di Pasar, Kualitasnya di Bawah Standar Mutu

“Satgas Pangan akan kewalahan bila negara tidak membenahi regulasi dan membentuk BUMN pangan yang kuat. Ini adalah solusi jangka panjang untuk mencegah praktik curang dan memastikan kesejahteraan petani serta keadilan bagi konsumen,” tandasnya.

Diberitakan, Kementerian Pertanian bersama Satgas Pangan menemukan sebanyak 212 merek berasyang produknya tidak sesuai standar atau berisi beras oplosan

212 merek itu ditemukan tak sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkap salah satu modusnya, yakni pencantuman label yang tidak sesuai dengan kualitas beras sebenarnya atau sering disebut oplosan.

Amran mencontohkan, sebanyak 86 persen dari produk yang diperiksa mengklaim sebagai beraspremium atau medium, padahal hanya beras biasa. 

Ada pula modus pelanggaran yang mencakup ketidaksesuaian berat kemasan, di mana tertulis 5 kilogram (kg) namun hanya berisi 4,5 kg. 

"Artinya, beda 1 kg bisa selisih Rp2.000-3.000/kg. Gampangnya, misalnya emas ditulis 24 karat, tetapi sesungguhnya 18 karat. Ini kan merugikan masyarakat Indonesia," kata Amran di Makassar, Sabtu (12/7/2025).

Akibat praktik kecurangan itu menurut Amran, kerugian yang diderita masyarakat tak tanggung-tanggung. Nilainya ditaksir mencapai Rp99,35 triliun setiap tahun. 

"Selisih harga dari klaim palsu ini bisa mencapai Rp1.000 hingga Rp2.000 per kilogram. Jika dikalikan dengan volume nasional, potensi kerugian masyarakat bisa mencapai hampir Rp100 triliun," tegasnya.

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved