Jumat, 3 Oktober 2025

Sindir Putusan Pemisahan Pemilu, Qodari: DPR Berhenti Saja Buat UU Kasih ke Mahkamah Konstitusi

Menurutnya, langkah MK tersebut sudah melampaui batas kewenangannya sebagai lembaga yudikatif.

Penulis: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN
PUTUSAN MK - Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, menilai Mahkamah Konstitusi (MK) kerap kali mengambi keputusan yang sebetulnya merupakan ranah legislatif atau DPR. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, menilai Mahkamah Konstitusi (MK) kerap kali mengambi keputusan yang sebetulnya merupakan ranah legislatif atau DPR.

Qodari menyorot putusan MK yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.

Baca juga: DPR Belum Putuskan Sikap Resmi soal Putusan MK yang Pisahkan Pemilu

Menurutnya, langkah MK tersebut sudah melampaui batas kewenangannya sebagai lembaga yudikatif.

“Jadi memang MK ini pada dasarnya itu sudah terlalu lama kebablasan. Mereka ini sering mengambil keputusan yang sebetulnya merupakan ranahnya dari DPR atau ranahnya legislatif,” ujar Qodari di Jakarta, Jumat (11/7/2025).

Qodari menjelaskan, berdasarkan tata negara Indonesia memiliki tiga institusi, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Tugas dari legislatif, ucap Qodari, yakni menulis Undang-Undang. Qodari pun menyindir MK yang disebutnya telah ‘mengambil’ tugas DPR.

“Tugas yudikatif apa? Menguji undang-undang terhadap konstitusi. Yang terjadi bukan cuma menguji, tapi juga menulis. Sehingga saya pernah berkata waktu itu, sudah DPR berhenti saja bikin undang-undang. Kasih saja semua sama MK,” kata Qodari.

Qodari mengingatkan, MK seharusnya melakukan pendekatan judicial restraint bukan judicial activism.

MK harus dalam posisi membatalkan Undang-Undang yang dianggap melanggar konstitusi.

“Tapi bagaimana revisinya itu diserahkan kepada pembuat Undang-Undang. Yaitu DPR,” kata Qodari.

Menurut Qodari Pasal 22E Ayat 2 UUD 1945, menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan lima tahun sekali secara serentak.

Selanjutnya, Tugas MK itu menurut Pasal 24C adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD.

"Bukan membuat norma baru yang bertentangan dengan konstitusi," tuturnya.

Dalam putusan gugatan uji materi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada yang dibacakan pada 26 Juni 2025 itu, MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.

Pemilu nasional adalah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.

Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029.

Baca juga: MK Tegaskan Pemilu Terpisah 2029 Paling Konstitusional

Menurut Qodari, dengan putusan MK tersebut akan percuma, jika ada pihak yang mengajukan uji materi karena akan dibatalkan.

“Sudah pasti tidak akan judicial review dan akan dibatalkan karena mereka sendiri yang bikin. Di masa lalu juga pernah ada contoh yang lain bagaimana MK itu menetapkan angka threshold untuk calon kepala daerah. Atau bahkan terakhir kemarin itu menghapus syarat pengajuan calon untuk syarat suara untuk calon presiden,” kata Qodari.

Sebelumnya, Putusan MK tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah telah membuka babak baru demokrasi elektoral Indonesia.

Dengan putusan MK itu, pemilu nasional tetap dilangsungkan serentak pada 2029. Sedangkan pemilu daerah akan digelar pada 2031.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved