Senin, 29 September 2025

UU Pemilu

Pakar Tepis Parpol yang Sebut Putusan MK Soal Pemilu Nasional dan Daerah Inkonstitusional

Ada yang menyebut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 PUU/-XXIII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pilkada lokal inkonstitusional.

Tribunnews.com/ Mario Christian Sumampow
PEMISAHAN PEMILU - Pengamat sekaligus pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini. Ia menepis pernyataan politisi parpol yang menyebut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 PUU/-XXIII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pilkada lokal inkonstitusional. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah partai politik (parpol) menyebut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 PUU/-XXIII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pilkada lokal inkonstitusional.

Hal itu ditepis oleh pakar sekaligus pengamat kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini.

"Tidak benar Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945," kata Titi saat dikonfirmasi, Jumat (4/7/2025).

Mengacu pada pasal tersebut, artinya Putusan MK bertentangan dengan ketentuan pemilu setiap 5 tahun sekali.

Titi menjelaskan, ketentuan regularisasi pemilu setiap 5 tahun sekali harus dibaca sebagai prinsip yang berlaku untuk desain pemilu yang sudah berjalan sesuai dengan model keserentakan yang dalam hal ini adalah konstitusional sesuai putusan MK.

"Yaitu, serentak nasional dan serentak daerah," tuturnya.

Ketika keserentakan pemilu belum berjalan sesuai desain yang konstitusional, artinya saat ini merupakan masa transisi yang harus diikuti penataan serta penyesuaian.

Tujuannya jelas agar jadwal pemilu setiap 5 tahun sekali berjalan kompatibel dengan model yang diputuskan MK.

"Cara berpikirnya tidak boleh membenturkan antara Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 dengan konstitusionalitas pemilu serentak nasional dan daerah," tegas Titi.

Di masa transisi, adalah konstitusional untuk menata jadwal agar keserentakan pemilu dengan model baru yang sudah didesain konstitusi.

Artinya, prinsip pemilu setiap 5 tahun sekali harus dan tetap diterapkan konsisten tanpa kecuali. 

Termasuk juga setelah praktik pemilu serentak nasional pada 2029 dan pemilu serentak daerah pada 2031.

Lebih lanjut, Titi menjelaskan ihwal adanya preseden masa transisi pemilu pada tahun 1977 yang diselenggarakan 6 tahun sekali setelah Pemilu 1971.

"Kemudian, di tahun 1999, kita mempercepat pemilu yang seharusnya siklus 5 tahunannya baru berlangsung pada 2002, namun dipercepat menjadi pemilu di tahun 1999. Hal itu adalah bentuk penataan dan konsensus untuk keluar dari transisi demokrasi," pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan