UU Pemilu
Plus Minus Pemilu Tak Lagi Serentak Mulai 2029, Peta Politik Nasional Dinilai Tak Berubah
Pengamat menilai putusan MK tersebut tidak berpengaruh terhadap politik nasional, tetapi lebih kepada otonomi daerah yang semakin kuat.
Kendati demikian, Ray mengungkapkan, putusan MK tersebut hanya akan memengaruhi konstelasi politik di daerah alih-alih secara nasional.
Dia mengungkapkan, pileg nantinya justru diprediksi tergantung dari popularitas figur calon kepala daerah yang diusung parpol.
"Kursi parpol di pemilu lokal-legislatif sangat tergantung pada figur calon kepala daerah. Suasananya kurang lebih akan sama dengan pemilu-pilpres serentak."
"Perolehan suara parpol di pemilu legislatif akan tergantung sejauh apa popularitas calon kepala daerah yang diusung," jelasnya.
Alasan MK Putuskan Pemilu Tidak Lagi Serentak
Dalam putusannya, MK membeberkan beberapa alasan sehingga pemilu mulai tahun 2029 tidak lagi digelar serentak.
Pertama, beban kerja penyelenggara pemilu yang dirasa semakin berat ketika pemilu digelar serentak, sehingga turut memengaruhi kualitas penyelenggaraannya.
Hal ini berkaca dari penyelenggaraan Pemilu 2024 sebelumnya yang digelar secara serentak.
"Pertembungan tahun penyelenggaraan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, berakibat terjadinya impitan sejumlah tahapan dalam penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPR, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan sejumlah tahapan awal dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota."
"Dengan adanya fakta berimpitan sejumlah tahapan pemilihan umum tersebut, maka tidak bisa dicegah atau dihindari terjadinya tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu, yang dalam batas penalaran yang wajar berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilihan umum," kata hakim anggota, Arief Hidayat, dikutip dari YouTube Mahkamah Konstitusi RI.
Selain berpengaruh terhadap penyelenggaraannya, pemilu serentak juga berdampak terhadap partai politik (parpol) dalam mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi.
Pasalnya, parpol seakan dipaksa untuk mempersiapkannya secara instan ribuan kadernya untuk berkompetisi di dalam pemilu serentak, yaitu dari Pileg, Pilkada, hingga Pilpres.
"Akibatnya, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik," kata Arief.
Hakim juga menganggap pemilu serentak membuat parpol tidak berdaya, sehingga lebih mengedepankan politik praktis seperti memilih calon yang akan berkontestasi hanya berdasarkan popularitasnya saja serta berdasarkan keinginan pemilik modal.
Sehingga, membuat perekrutan calon-calon yang akan mengisi jabatan publik lewat pemilu hanya bersifat transaksional saja.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.