Rabu, 1 Oktober 2025

UU Pemilu

Sampaikan Amicus Curiae ke MK, Deconstitute Minta Jeda 2 Tahun Pemilu Pusat dan Daerah

Menurut Harimurti, pemilih dapat terbebani secara kognitif, karena dihadapkan pada lima surat suara sekaligus dan harus mempertimbangkan.

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Wahyu Aji
istimewa
UU PEMILU DAN UU PILKADA - Harimurti Adi Nugroho selaku Direktur Eksekutif Jakarta' Democracy, Economic & Constitution Institute (Deconstitute) resmi mengajukan pandangan sebagai Amicus Curiae kepada Mahkamah Konstitusi pada Rabu (28/5/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jakarta' Democracy, Economic & Constitution Institute (Deconstitute) resmi mengajukan pandangan sebagai Amicus Curiae kepada Mahkamah Konstitusi pada Rabu (28/5/2025) dalam perkara pengujian materiil Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait undang-undang pemilu dan undang-undang pilkada.

Harimurti Adi Nugroho selaku Direktur Eksekutif Deconstitute menegaskan semestinya ada jeda dua tahun antara pemilu pusat dan pemilu daerah.

"Dari segi teoretis maupun data empiris, pemilu yang baru dilaksanakan ini justru merugikan kualitas demokrasi. Harusnya antara pemilu serentak pusat dengan pemilu serentak daerah itu ada jeda setidaknya 2 tahun. Jangan lagi dilaksanakan pada tahun yang sama" ujar Harimurti.

Dalam Amicus Curiae tersebut, Deconstitute menyoroti pelaksanaan pemilu serentak dengan lima kotak suara (Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) yang diselenggarakan dengan pemilu serentak kepala daerah (Gubernur, dan Bupati/Walikota) dalam tahun yang sama, sebagaimana yang dilaksanakan pada tahun 2024. 

Praktik ini menimbulkan fenomena voter fatigue (kelelahan pemilih) yang berdampak pada menurunnya tingkat partisipasi pemilih, proses pemilihan, dan kualitas hasil pemilu.

Pelaksanaan pemilu serentak dengan lima kotak suara dan pemilu serentak kepala  daerah dalam tahun yang sama membuat penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), kurang memiliki waktu yang memadai untuk melaksanakan tahapan-tahapan pemilu karena jeda waktu yang singkat antara kedua pemilu.

Selain masalah jadwal pemilu serentak, DECONSTITUTE juga menyoroti model pemilu serentak dengan lima kotak suara (Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota).

Menurut Harimurti, pemilih dapat terbebani secara kognitif, karena dihadapkan pada lima surat suara sekaligus dan harus mempertimbangkan terlalu banyak kandidat dari tingkat pusat dan daerah. 

Hal ini menurunkan kualitas keputusan politik dan mendorong pemilih menggunakan pendekatan heuristik yang dangkal dan menimbulkan keletihan pemilih (voter fatigue).

"Berkaca pada pemilu 2024, surat suara ada lima, kandidat yang harus dipilih ada ratusan, jadi itu terlalu banyak. Tidak sehat. Kami minta ada pembedaan dan pemisahan antara pemilu serentak nasional yang terdiri dari tiga kotak suara (Presiden/Wakil Presiden, DPR, dan DPD) dan pemilu serentak daerah yang terdiri dari empat kotak suara (Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota)." jelas Harimurti menjelaskan rasionalisasi di balik pendapat Amicus curea yang diajukan itu.

Deconstitute juga menyoroti dampak negatif lainnya dari pelaksanaan pemilu 
serentak lima kotak.

Misalnya terhadap penyelenggara pemilu, khususnya KPPS yang menghadapi beban kerja luar biasa, dan terbukti dari ratusan petugas meninggal dunia dan ribuan lainnya jatuh sakit pada Pemilu 2019 dan 2024. 

Kompleksitas logistik dan administratif semakin memperparah situasi ini. 

Kemudian dari sisi pengawasan, Deconstitute menilai pengawas pemilu serentak lima kotak, yaitu Bawaslu, dihadapkan pada pengawasan simultan berbagai jenis pemilihan dengan karakteristik dan potensi pelanggaran berbeda-beda.

Akibatnya, pengawasan menjadi tidak optimal dan banyak pelanggaran tidak terdeteksi atau tertangani secara memadai.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved