4 Wanti-wanti DPR hingga Pakar soal Wacana Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan Fadli Zon menyatakan rencana menulis ulang sejarah RI.
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan Fadli Zon menyatakan rencana menulis ulang sejarah RI.
Direncanakan, penulisan ulang sejarah di Tanah Air ini akan selesai pada Agustus 2025, bertepatan dengan HUT ke-80 RI.
Menurut Fadli Zon, penulisan sejarah versi terbaru ini dikerjakan oleh lebih dari 100 ahli sejarah dari berbagai universitas di Indonesia.
Nantinya, penulisan ulang sejarah akan dibukukan secara resmi dan bakal menjadi buku ajar sejarah di sekolah-sekolah.
"Sekarang baru dalam proses, yang menuliskan ini para sejarawan. Tahun ini (rencananya diluncurkan), (saat) 80 tahun Indonesia merdeka,” kata Fadli Zon, Selasa (6/5/2025).
Fadli menjelaskan, ada bagian-bagian sejarah yang direvisi, ditambahkan, ataupun diluruskan mengikuti hasil kajian para ahli.
Menurutnya, ada banyak temuan-temuan, termasuk dari periode prasejarah, dan ada juga penambahan-penambahan catatan sejarah dari pemerintahan-pemerintahan yang lalu.
Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah rencana mengubah sejarah yang menyebut bahwa Indonesia pernah dijajah selama 350 tahun.
Menurut Fadli, selama 350 tahun itu justru banyak daerah di Indonesia yang melakukan perlawanan kepada Belanda.
Fadli menyatakan ke depannya, sejarah resmi RI soal itu akan mengedepankan sejarah perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme.
Wacana penulisan sejarah ini pun mendapat sorotan dari sejumlah pihak.
Baca juga: Pemerintah Bakal Tulis Ulang Sejarah RI, Istilah Dijajah 350 Tahun Munculkan Kesan Inferior
Diminta Libatkan Ahli Kredibel
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani meminta agar penulisan ulang sejarah melibatkan para ahli yang kredibel agar hasilnya objektif.
"Penyusunan sejarah harus dilakukan secara transparan, melibatkan para ahli yang kredibel, serta mempertimbangkan berbagai perspektif agar hasilnya objektif dan mencerminkan kebenaran sejarah secara utuh," kata Lalu, Jumat (9/5/2025).
Menurut Lalu, perihal penulisan ulang sejarah juga sudah dibahas dalam rapat kerja (raker) Komisi X DPR bersama Kementerian Kebudayaan pada 23 April lalu.
Perlu Transparansi
Dalam raker bulan lalu, Komisi X menekankan pentingnta transparansi dalam pembahasan penulisan ulang sejarah.
"Komisi X menegaskan pentingnya keterbukaan dari pihak kementerian dalam proses penyusunan ulang narasi sejarah," ujar Lalu.
Ia menilai, penulisan ulang sejarah memang perlu dilakukan untuk menghadirkan narasi yang lebih adil, lengkap, dan objektif.
Ia berharap, penulisan ulang sejarah ini bisa memperbaiki distorsi sejarah dan memberikan ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan.
Perlu Uji Publik Naskah Akademik
Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), I Nyoman Parta, juga meminta agar naskah akademik penulisan ulang sejarah nasional Indonesia perlu diuji publik terlebih dahulu sebelum dirilis secara resmi.
"Sejarah itu apa pun yang dijadikan materinya baik sosial, ekonomi, budaya maupun politik harus dituliskan secara baik agar bisa bukan saja mudah dicerna dan dimengerti, tetapi juga bisa jadi tuntunan bagi generasi," kata Nyoman, Kamis (8/5/2025) malam.
Bagi Nyoman, penulisan sejarah, terutama yang menyangkut peristiwa politik dan tokoh-tokoh penting bangsa, harus dilakukan secara jujur dan objektif.
"Terutama yang berkaitan dengan sejarah politik dan peran-peran tokoh penting harus dituliskan secara jujur dan obyektif dengan argumentasi yang kuat," ujarnya.
Ia menegaskan keterlibatan publik dalam menelaah naskah akademik menjadi kunci agar sejarah yang ditulis ulang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan sosial.
"Jadi, dalam konteks Kementerian Kebudayaan ingin menulis ulang sejarah Indonesia, perlu diuji publik dahulu naskah akademiknya," ucap Nyoman.
Harus Bebas dari Kepentingan Politik
Akademisi Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Radius Setiyawan, mengingatkan pentingnya proses yang objektif dan tidak sarat kepentingan politik dalam merevisi narasi sejarah bangsa.
Menurutnya, sejarah sering kali menjadi produk kekuasaan.
Sejarah yang ditulis dan diajarkan kerap mencerminkan sudut pandang kelompok dominan atau penguasa pada masanya.
“Penguasa memiliki kontrol atas sumber daya, pendidikan, dan media sehingga mereka dapat menentukan versi sejarah mana yang akan disebarluaskan. Hal ini sejalan dengan ungkapan populer ‘history is written by the victors’—sejarah ditulis oleh para pemenang,” ujar Radius, Kamis (8/5/2025) dikutip daro Surya.co.id.
“Terdapat metodologi, validitas data, serta aspek ilmiah lain yang harus diperhatikan secara ketat,” tegasnya.
Radius berharap pemerintah berhati-hati dalam menjalankan proyek ini.
Ia menekankan, penulisan ulang sejarah seharusnya tidak menjadi alat politik, melainkan cermin dari kebenaran sejarah yang lebih utuh dan berimbang.
“Pemerintah harus memastikan upaya ini dilakukan secara komprehensif, objektif, dan ilmiah,” pungkasnya.
Sebagian dari artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul Akademisi UM Surabaya : Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Harus Bebas dari Kepentingan Politik.
(Tribunnews.com/Milani/Reza Deni) (Surya.co.id/Sulvi Sofiana)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.