Konflik Palestina Vs Israel
Guru Besar UI Nilai Wajar Muncul Kekhawatiran Terkait Rencana Prabowo Evakuasi Warga Gaza
Hikmahanto Juwana, berbicara soal kekhawatiran sejumlah kalangan terkait rencana Presiden Prabowo Subianto untuk mengevakuasi sementara warga Gaza.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana, berbicara soal kekhawatiran sejumlah kalangan terkait rencana Presiden Prabowo Subianto untuk mengevakuasi sementara warga Gaza ke Indonesia yang hendak melakukan pengobatan.
Hikmahanto menilai wajar bila ada kalangan yang khawatir mengenai rencana Presiden Prabowo tersebut.
Ia menilai kekhawatiran muncul karena takut rencana tersebut justru mendukung skenario AS dan Israel untuk memindahkan warga Palestina dari tanah Gaza dan tidak dapat kembali.
"Ini artinya Israel akan leluasa memukimi warganya di Gaza," kata Hikmahanto saat dihubungi Tribunnews.com pada Minggu (13/4/2025).
"Saat di Turki Presiden Prabowo menawarkan (rencana tersebut) tapi yang saya pantau Menlu Turki menolak ide ini. Menurut Menlu rakyat Palestina harus tetap di tanah Palestina," lanjutnya.
Baca juga: Reaksi Pakar: Evakuasi Gaza Bisa Jadi Bumerang Politik Jika Tanpa Dukungan Rakyat dan Infrastruktur
Ia memandang pengosongan Gaza dari rakyat Palestina sangat dikehendaki Israel.
Hal itu, kata dia, karena dari Gaza serangan rudal Hamas dilancarkan ke Israel.
Israel ingin menguasai Gaza sebagaimana dia menguasai Tepi Barat. Sehingga Gaza tidak menjadi momok.
Baca juga: Prabowo Sudah Minta Waktu untuk Temui Donald Trump, Ingin Bahas Tarif Impor & Evakuasi Warga Gaza
Caranya, Israel menyerang rakyat Palestina baik pejuang Hamas maupun perempuan dan anak kecil.
Namun akibatnya, kata Hikmahanto, Israel dapat kecaman dari dunia internasional.
"Tapi kalau mengevakuasi karena sakit atau merekonstruksi Gaza dan lain-lain maka ini dianggap suatu hal yang manusiawi padahal tujuan akhirnya agar Israel dapat menguasai tanah Gaza secara ilegal," kata Hikmahanto.
Menurut dia, kekhawatiran itu menurutnya valid karena rencana itu disampaikan dalam momentum yang tidak pas.
Momentum dimaksud yakni di saat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenakan tarif impor yang tinggi ke Indonesia.
"Nah Indonesia kan minta diturunkan. Lalu banyak yang berpikir jangan-jangan ini bargaining chip antara AS dan Indonesia. Sehingga ini bisa dianggap akal-akalan AS," kata dia.
"Yang berat bagi Indonesia adalah persepsi Indonesia sebagai negara yang lemah, bahkan proxy dari AS dan Israel," ucapnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.