DPR Dinilai Tergesa-gesa Bahas RUU KUHAP Sehingga Berpotensi Melanggar HAM
Meskipun RUU ini memuat 334 pasal dan ribuan ayat yang memerlukan pembahasan mendalam, pihak DPR justru menargetkan pembahasan hanya dalam dua masa
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Acos Abdul Qodir

Koalisi menegaskan harus ada jaminan peran advokat yang diperkuat dalam melakukan fungsi pembelaan, terutama pemberian akses untuk mendapatkan atau memeriksa semua berkas peradilan dan bukti-bukti memberatkan.
“Termasuk perluasan pemberian bantuan hukum yang dijamin oleh negara dan pemberian akses pendampingan hukum tanpa pembatasan-pembatasan, hingga perlu meluruskan definisi advokat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada,” ujar Isnur.
Kelima, perlu adanya akuntabilitas pelaksanaan kewenangan teknik investigasi khusus seperti pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan yang diawasi (controlled delivery).
Koalisi menegaskan RUU KUHAP perlu mengatur pembatasan jenis-jenis tindak pidana pidana yang dapat diterapkan dengan teknik investigasi khusus, termasuk syarat kewenangan serta jaminan bahwa kewenangan ini harus berbasis izin pengadilan.
“Kewenangan ini tidak boleh dilakukan pada penyelidikan, tidak boleh penyidik yang menginisiasi niat jahat melakukan tindak pidana,” kata Isnur.
Keenam, perlu pembaruan sistem hukum pembuktian. Isnur mengatakan harus ada definisi bukti tanpa mengotak-kotakkan alat bukti dan barang bukti, serta memastikan unsur relevansi dan kualitas bukti.
Selain itu, KUHAP perlu memastikan adanya prosedur pengelolaan setiap jenis bukti dan harus ada jaminan “alasan yang cukup” secara spesifik.
Definisi bukti ini, kata Isnur, bukan sekadar mengacu pada dua alat bukti di awal untuk terus-menerus digunakan sebagai alasan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tindakan lainnya.
Baca juga: Wacana Pertemuan Megawati dan Prabowo Dinilai Tinggal Tunggu Waktu yang Tepat dan Kecocokan Jadwal
Ketujuh, harus ada batasan pengaturan tentang sidang elektronik. Koalisi menilai perlu ada definisi mengenai “keadaan tertentu” di mana sidang elektronik dapat dilakukan tanpa mengurangi esensi dari upaya pencarian kebenaran materiil dan untuk menghindarkan dari penjatuhan putusan yang bias, keliru, dan merugikan para pihak dalam persidangan.
Selain itu, perlu ada jaminan agar sidang elektronik tidak dijadikan alasan untuk membatasi akses publik, termasuk keluarga korban maupun terdakwa.
Kedelapan, akuntabilitas dalam penyelesaian perkara di luar persidangan. Isnur mengatakan harus ada perbaikan konsep restorative justice yang saat ini hanya dipahami sebagai penghentian perkara.
Perlu ada jaminan bahwa mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan yang tersedia nantinya dapat dilakukan pada tahap pasca penyidikan.
“Akuntabilitas harus dijamin untuk mencegah terjadinya praktik-praktik transaksional dan pengancaman atau pemerasan,” kata Isnur.
Kesembilan, perlu ada penguatan hak-hak tersangka atau terdakwa, saksi, dan korban.
Isnur mengatakan perlu ada kejelasan mekanisme restitusi sebagai bentuk pemulihan kerugian korban mulai dari proses pengajuan hingga pembayaran dana diterima korban.
Efek Danantara, Baleg DPR: Kemungkinan Kementerian BUMN Dihapus |
![]() |
---|
Maket Ikonik Gedung Kura-kura Parlemen RI Jadi Simbol Diplomasi Kreatif Indonesia |
![]() |
---|
Tok! DPR-Pemerintah Sepakati 52 RUU Masuk Prolegnas Prioritas 2025, Perampasan Aset Tidak Masuk? |
![]() |
---|
DPR Minta Pemerintah Tambah Bansos Minyak 2 Liter, Menkeu Purbaya: Kami Sanggup |
![]() |
---|
Anggota Komisi IX DPR Usul Perlindungan Ojol Masuk RUU Transportasi Online |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.