Senin, 29 September 2025

DPR Dinilai Tergesa-gesa Bahas RUU KUHAP Sehingga Berpotensi Melanggar HAM

Meskipun RUU ini memuat 334 pasal dan ribuan ayat yang memerlukan pembahasan mendalam, pihak DPR justru menargetkan pembahasan hanya dalam dua masa

zoom-inlihat foto DPR Dinilai Tergesa-gesa Bahas RUU KUHAP Sehingga Berpotensi Melanggar HAM
Tribunnews.com/Chaerul Umam
RUU KUHAP - Komisi III DPR RI mulai menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada hari ini Senin (24/3/2025). Pada rapat ini, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) mencatat ribuan pelanggaran yang dilakukan APH. (Tribunnews.com/ Chaerul Umam)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTAKoalisi Masyarakat Sipil menilai langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tergesa-gesa membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) berisiko menimbulkan potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

"DPR terkesan buru-buru dalam membahas RUU KUHAP," kata Ketua Umum Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, dalam keterangan pers tertulis, Kamis (3/4/2025).

Meskipun RUU ini memuat 334 pasal dan ribuan ayat yang memerlukan pembahasan mendalam, pihak DPR justru menargetkan pembahasan hanya dalam dua masa sidang hingga Oktober-November 2025.

Menurutnya, target waktu yang terlalu singkat ini sangat tidak realistis. 

"Dengan demikian, tidak masuk akal jika pembahasan terhadap RUU KUHAP dilakukan secara mendalam hanya dalam beberapa bulan," kata dia.

Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti sembilan isu krusial yang seharusnya mendapat perhatian serius dalam pembahasan RUU KUHAP.

Pertama, kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana dari masyarakat secara akuntabel. 

"Perlu ada jaminan bahwa korban dapat mengajukan keberatan kepada penuntut umum atau hakim apabila laporan atau aduan tindak pidana tidak ditindaklanjuti oleh penyidik," ujar Isnur.

Baca juga: DPR Tepis Isu Hapus Sertifikasi Guru dan PPG di RUU Sisdiknas

Kedua, lanjut koalisi, perlu mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan ketersedian forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat.

Koalisi menyatakan harus ada jaminan bahwa seluruh upaya paksa dan tindakan lain penyidik dan penuntut umum harus dapat diuji ke pengadilan.

"Dalam mekanisme keberatan dengan mekanisme pemeriksaan yang substansial untuk mencari kebenaran materil dari dugaan pelanggaran ketimbangan pemeriksaan administrasi kelengkapan persuratan," ujar Isnur.

Ketiga, KUHAP harus memiliki pembaruan pengaturan standar pelaksanaan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan yang objektif dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia.

Isnur berpendapat, perlu ada jaminan bahwa seluruh tindakan tersebut harus dengan izin pengadilan. Sedangkan pengecualian untuk kondisi mendesak tanpa izin pengadilan diatur secara ketat.

Selain itu, dalam waktu maksimal 48 jam, terduga pelanggar yang ditangkap harus dihadapkan secara fisik ke pengadilan untuk dinilai bagaimana perlakuan aparat yang menangkap dan apakah dapat selanjunya perlu penahanan.

Ketua YLBHI Muhamad Isnur di Gedung LBH-YLBHI, Jakarta, Minggu, (2/6/2024).
Ketua YLBHI Muhamad Isnur di Gedung LBH-YLBHI, Jakarta, Minggu, (2/6/2024). (Tribunnews.com/ Rahmat W Nugraha)

Keempat, RUU KUHAP harus memiliki prinsip keberimbangan dalam proses peradilan pidana antara negara (penyidik-penuntut umum) dengan warga negara, termasuk advokat yang mendampingi. 

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan