Korupsi di PT Timah
Putusan 20 Tahun Penjara terhadap Harvey Moeis Dinilai Tidak Tepat, Pakar Ungkap Kejanggalan
Romli melihat sejumlah kejanggalan yang diambil oleh majelis hakim terkait vonis Harvey Moeis dan Helena Lim yang diperberat.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Bidang Hukum Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita menyebut putusan banding terhadap Harvey Moeis dan Helena Lim yang lebih berat dari vonis sebelumnya sebagai miscarriage of justice atau putusan sesat.
Hal ini mengingat sejumlah kejanggalan dalam pertimbangan hukum yang diambil oleh majelis hakim.
Baca juga: Vonis Harvey Moeis Diperberat Jadi 20 Tahun Penjara, Aktor Penting Korupsi Timah
"Tidak terbukti suap dan tidak terbukti gratifikasi. Kerugian negara dalam putusan pengadilan bukan kerugian nyata (actual loss), namun hukuman Harvey Moeis justru diberatkan menjadi 20 tahun penjara dan uang pengganti sebesar Rp 420 miliar. Ini tidak tepat," ucap Romli, Kamis (13/2/2025).
Romli yang juga salah satu perancang undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu menegaskan, uang pengganti Rp 420 miliar yang dibebankan kepada Harvey Moeis tidak dilengkapi dengan bukti yang sah.
"Uang pengganti tersebut terbukti tidak diterima oleh Harvey Moeis. Nilai Rp 420 miliar juga tidak didukung oleh bukti yang kuat," ujarnya.
Selain itu, dakwaan pemufakatan jahat antara Harvey Moeis dan terdakwa lain juga dinilai tidak terbukti selama persidangan.
"Dakwaan tindak pidana korupsi dalam kasus ini secara normatif berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 bukanlah tindak pidana korupsi. Pelanggaran terhadap UU Pertambangan tidak secara tegas diatur sebagai tindak pidana korupsi," jelas Romli.
Baca juga: Putusan Banding Kasus Timah, Bos Smelter Suparta Divonis 19 Tahun Penjara dan Denda Rp 4,5 Triliun
Lebih jauh dijelaskan Romli, hukuman terhadap Harvey Moeis juga dinilai tidak proporsional.
Pasalnya menurut dia, hukuman penjara yang awalnya 6,5 tahun naik menjadi 20 tahun, sementara uang pengganti dari Rp 210 miliar melonjak menjadi Rp 420 miliar.
"Ini menunjukkan bahwa Harvey Moeis dianggap sebagai aktor intelektual, padahal fakta persidangan membuktikan sebaliknya," tegas Romli.
Terkait hal ini dia beranggapan bahwa Harvey Moeis sendiri bukanlah penyelenggara negara maupun direksi PT Timah.

Sebab Harvey kata Romli hanya terlibat dalam kontrak sewa smelter dan kontrak kerja dengan penduduk sekitar tambang, yang notabene bukan penambang liar melainkan warisan turun-temurun.
"Harvey Moeis dijerat pasal penyertaan (Pasal 55 KUHP) padahal ia tidak memiliki peran sebagai aktor intelektual," tambah Romli.
Tak hanya terhadap Harvey, Romli juga menyoroti vonis banding yang dijatuhkan terhadap Helena Lim yang notabene dianggap hanya sebagai pengusaha money changer.
Dalam putusan banding, Helena kata dia justru dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti kepada terdakwa sebesar Rp 900 juta.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.