Kamis, 2 Oktober 2025

DPR Minta Hakim MK Terpilih Konsultasi Dulu Sebelum Ambil Keputusan, Pengamat: Menentang UUD

permintaan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul soal hakim MK terpilih berkonsultasi dulu itu menentang konstitusi.

Editor: Johnson Simanjuntak
Tribunnews.com/Rahmat W Nugraha
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari - DPR Minta Hakim MK Terpilih Konsultasi Dulu Sebelum Ambil Keputusan, Pengamat: Menentang UUD 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, merespons terkait hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terpilih diminta konsultasi dulu ke DPR sebelum ambil keputusan.

Feri mengatakan, konstitusi mengatur bahwa kekuasaan kehakiman harus merdeka.

"Jika disimak ketentuan pasal 24 Undang-Undang Dasar (UUD) jelas disebut bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Merdeka dari berbagai intervensi, termasuk juga proses seleksi yang berpotensi membatasi kemerdekaan kehakiman itu," kata Feri, saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (26/9/2023).

Menurutnya, permintaan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul soal hakim MK terpilih berkonsultasi dulu itu menentang konstitusi.

"Jadi apa yang terucap dari anggota DPR menunjukkan sikap menentang Undang-Undang Dasar yang mestinya itu berdampak ke persoalan etik," ucap Feri.

Ia kemudian menegaskan, atas sikapnya itu, Bambang Pacul seharusnya diberhentikan dari keanggotaannya di DPR RI.

"Sikap anggota DPR seperti itu harusnya berujung kepada pemberhentian dia sebagai anggota DPR, karena menentang ketentuan Undang-Undang Dasar," tegas Feri.

Lebih lanjut, Dosen Universitas Andalas itu mengatakan, sulit jika seleksi hakim MK diajukan oleh lembaga yang mengajukannya. Dalam hal ini DPR.

"Sulit kalau metode seleksi oleh lembaga yang mengajukan hakim konstitusi. Kalau diperhatikan pasal 24 huruf c itu kan bunyinya 'Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung mengajukan calon hakim konstitusi'," ucap Feri.

"Nah, karena diajukan oleh tiga lembaga itu, maka sesungguhnya proses seleksi dapat dilakukan oleh lembaga yang lebih independen, seperti Komisi Yudisial. Tetapi kan lembaga-lembaga tersebut secara politik memang sengaja ingin mengintervensi mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman, jadi niat jahatnya itu, mencoba mengendalikan hakim konstitusi," sambungnya.

Lebih lanjut, kata Feri, dalam UUD disebutkan bahwa hakim konstitusi itu adalah negarawan yang memahami ketatanegaraan dan konstitusi.

"Kalau mereka memahami ketatanegaraan dan konstitusi, mestinya setelah terpilih, mereka sadar betul bahwa mereka bisa sangat independen, mereka bisa sangat menentukan terlepas dari intervensi dan pengaruh dari lembaga-lembaga atau orang-orang politik lainnya. Jadi tinggal kemampuan dan kesadaran berkonstitusi mereka yang harus baik," tuturnya.

Selanjutnya, Feri menyinggung terkait kasus penggantian hakim konstitusi Aswanto dengan Guntur Hamzah.

"Kasus pak Aswanto itu one in a million ya, karena setelah itu oleh putusan MK itu tidak diperkenankan lagi terjadi. Sehingga dengan sendirinya tidak dapat terulang. Oleh karena itu harus ada kesadaran. Mungkin konstitusi itu tidak akan pernah berlaku kepada mereka," kata Feri.

"Yang kemarin itu memang dukungan partai koalisi dan presiden sendiri menyebablan proses pergantian itu bisa terjadi. Karena presiden yang kemudian menindaklanjuti apa yang dilakukan oleh DPR terhasap hakim Aswanto. Jadi kedua kubu, baik legislatif dan eksekutif sudah bersepakat untuk menggantikan (Aswanto). Di sanalah kejahatannya," sambungnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved