DPR Minta Hakim MK Terpilih Konsultasi Dulu Sebelum Ambil Keputusan, Pengamat: Menentang UUD
permintaan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul soal hakim MK terpilih berkonsultasi dulu itu menentang konstitusi.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, merespons terkait hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terpilih diminta konsultasi dulu ke DPR sebelum ambil keputusan.
Feri mengatakan, konstitusi mengatur bahwa kekuasaan kehakiman harus merdeka.
"Jika disimak ketentuan pasal 24 Undang-Undang Dasar (UUD) jelas disebut bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Merdeka dari berbagai intervensi, termasuk juga proses seleksi yang berpotensi membatasi kemerdekaan kehakiman itu," kata Feri, saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (26/9/2023).
Menurutnya, permintaan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul soal hakim MK terpilih berkonsultasi dulu itu menentang konstitusi.
"Jadi apa yang terucap dari anggota DPR menunjukkan sikap menentang Undang-Undang Dasar yang mestinya itu berdampak ke persoalan etik," ucap Feri.
Ia kemudian menegaskan, atas sikapnya itu, Bambang Pacul seharusnya diberhentikan dari keanggotaannya di DPR RI.
"Sikap anggota DPR seperti itu harusnya berujung kepada pemberhentian dia sebagai anggota DPR, karena menentang ketentuan Undang-Undang Dasar," tegas Feri.
Lebih lanjut, Dosen Universitas Andalas itu mengatakan, sulit jika seleksi hakim MK diajukan oleh lembaga yang mengajukannya. Dalam hal ini DPR.
"Sulit kalau metode seleksi oleh lembaga yang mengajukan hakim konstitusi. Kalau diperhatikan pasal 24 huruf c itu kan bunyinya 'Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung mengajukan calon hakim konstitusi'," ucap Feri.
"Nah, karena diajukan oleh tiga lembaga itu, maka sesungguhnya proses seleksi dapat dilakukan oleh lembaga yang lebih independen, seperti Komisi Yudisial. Tetapi kan lembaga-lembaga tersebut secara politik memang sengaja ingin mengintervensi mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman, jadi niat jahatnya itu, mencoba mengendalikan hakim konstitusi," sambungnya.
Lebih lanjut, kata Feri, dalam UUD disebutkan bahwa hakim konstitusi itu adalah negarawan yang memahami ketatanegaraan dan konstitusi.
"Kalau mereka memahami ketatanegaraan dan konstitusi, mestinya setelah terpilih, mereka sadar betul bahwa mereka bisa sangat independen, mereka bisa sangat menentukan terlepas dari intervensi dan pengaruh dari lembaga-lembaga atau orang-orang politik lainnya. Jadi tinggal kemampuan dan kesadaran berkonstitusi mereka yang harus baik," tuturnya.
Selanjutnya, Feri menyinggung terkait kasus penggantian hakim konstitusi Aswanto dengan Guntur Hamzah.
"Kasus pak Aswanto itu one in a million ya, karena setelah itu oleh putusan MK itu tidak diperkenankan lagi terjadi. Sehingga dengan sendirinya tidak dapat terulang. Oleh karena itu harus ada kesadaran. Mungkin konstitusi itu tidak akan pernah berlaku kepada mereka," kata Feri.
"Yang kemarin itu memang dukungan partai koalisi dan presiden sendiri menyebablan proses pergantian itu bisa terjadi. Karena presiden yang kemudian menindaklanjuti apa yang dilakukan oleh DPR terhasap hakim Aswanto. Jadi kedua kubu, baik legislatif dan eksekutif sudah bersepakat untuk menggantikan (Aswanto). Di sanalah kejahatannya," sambungnya.
Aktivis yang Terobos Rapat RUU TNI di Fairmont Tak Terima MK Sebut DPR Tak Langgar Aturan |
![]() |
---|
Komisi III DPR Heran Program Jaga Desa yang Digagas Jaksa Agung Tak Disertai Anggaran |
![]() |
---|
MK Minta Polri dan Kemenhub Hadirkan Fasilitas Lalu Lintas Ramah Penyandang Buta Warna |
![]() |
---|
Anggota Komisi III DPR Nilai Reformasi Polri Bisa Jadi Kesempatan untuk Memperbaiki Lembaga |
![]() |
---|
DPR Belum Terima Surpres Pergantian Kapolri, Anggota Komisi III DPR: Tidak Perlu Dipersoalkan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.