Kamis, 2 Oktober 2025

RUU Perampasan Aset

Pemerintah dan DPR Disebut 'Kibuli' Publik Terus Tunda RUU Perampasan Aset

Pemerintah dan DPR tidak memperlihatkan sedikitpun komitmennya mempercepat persetujuan penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

Editor: Adi Suhendi
Dokumentasi acara
Ilustrasi Seminar Nasional Akselerasi RUU Perampasan Aset, Forum Masyarakat Peduli Aset Negara (Formapan), Selasa (27/6/2023). Pemerintah dan DPR disebut tidak memperlihatkan sedikitpun komitmennya mempercepat persetujuan penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Yayasan ASA Indonesia Syamsuddin Alimsyah menilai pemerintah dan DPR tidak memperlihatkan sedikitpun komitmennya mempercepat persetujuan penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

Ia pun mengatakan kuat kesan pemerintah dan DPR sengaja mengulur waktu bahkan 'mengibuli' publik seolah–olah karena ada agenda lain yang lebih mendesak.

Syam demikian biasa disapa, menjelaskan RUU perampasan aset sesungguhnya adalah kebutuhan yang mendesak dan akan menjadi sebuah aturan yang bertujuan untuk mengejar aset hasil kejahatan, meski tanpa menggugurkan pidana bagi pelaku kejahatan.

"Curiganya para pejabat kita memang tidak ada niat untuk menetapkan RUU ini. Kalaupun ada selama ini proses jalan sekadar bagian dari alur drama saja, seolah komitmen tapi niat saja tidak. Apalagi dalam RUU ini jelas, semua pejabat harus melaporkan kekayaannya. Bila mana ada hasil kekayaan mencurigakan dan tidak bisa dibuktikan keabsahan sembernya, maka negara bisa melakukan aksi sita. Sepertinya mereka belum rela kalau ini berlaku," ujar Syam dalam keterangan yang diterima.

Baca juga: Pemerintah Tak Bisa Perintahkan DPR untuk Bahas RUU Perampasan Aset, Yasonna: Kami Lobi Terus

Masih menurut Syam, berdasarkan catatan ASA Indonesia, gagasan pentinganya pembentukan RUU Perampasan Aset sesungguhnya sudah ada sejak tahun 2008 berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Pusat Penelitian dan Analisis Transkasi Keuangan (PPATK).

Ibarat gayung bersambut, Pemerintah merespons gagasan tersebut.

Bahkan tahun 2012 sempat diusul ke DPR untuk dibahas.

Baca juga: Menkumham Pastikan RUU Perampasan Aset Dibahas di DPR: Itu Prioritas Kita

Sayangnya terus mengalami penundaan dan tidak pernah masuk dalam daftar prioriotas legislasi nasional (Prolegnas).

Tahun 2020, pemerintah kembali mendorong agar RUU tersebut masuk daftar prioritas Prolegnas (Program Legislasi Nasional).

Namun, lagi-lagi tidak masuk Prolegnas.

Begitu pula di tahun 2022 Pemerintah dan DPR sepakat menunda atau setidaknya belum membahas RUU Perampasan Aset dengan alasan ingin lebih fokus dengan RUU Cipta Kerja.

"Dan ini satu indikasi sebenarnya kalau DPR dan Pemerintah memang tidak serius dengan RUU perampasan Aset, Bahkan publik ingat RUU Cipta Kerjalah yang sesungguhnya paling banyak menuai kontroversi," ujarnya.

Ia menambahkan karena DPR dan Pemerintah mengabaikan aspirasi masyarakat akhirnya UU Cipta Kerja diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Hasil putusan MK saat itu menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarakat oleh Mahkamah Konsitusi.

Awal tahun 2023, aspirasi RUU Perampasan Aset kembali disuarakan bersamaan terbongkarnya berbagai kasus dugaan praktik tindak pidana pencucian uang di tanah air.

Terbesar adalah dugaan TGUPP di lingkungan Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Perpajakan dengan nilai sampai Rp 349 triliun.

Kamis, 4 Mei 2023, Presiden Joko Widodo mengirimkan surat presiden (surpres) berisi usulan pembahasan RUU Perampasan Aset berikut naskah RUU kepada pimpinan DPR dan disertai arahan agar RUU ini menjadi perioritas dan bisa selesai pada sisa masa saat itu.

DPR Pun menyambut seolah dengan arahan tersebut dan menjanjikan kepada publik segera dibahas setelah pulang dari reses saat itu.

"Sayangnya pernyataan itu tidak berbeda dengan janji sebelumnya. Hingga sekarang tidak disentuh oleh DPR dengan banyak alasan. Dan menjadi ironi karena RUU Kesehatan yang malah ditetapkan, serta RUU Perpanjangan masa jabatan kepala desa juga mulai dibahas," katanya.

Ia menjelaskan sebenarnya ada dua RUU yang sudah diusulkan namun nasibnya sama.

Yakni RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Tunai.

"Kedua UU ini sebenarnya sangat penting untuk mencegah tumbuhnya praktik korupsi. Tapi itu hanya akan lahir di Pemerintahan yang serius dengan pemberantasan korupsi,"ujarnya.

Syamsuddin menyadari, RUU Perampasan Aset ini masih banyak kekuarangan, tapi semua itu harusnya dibahas dalam forum konsultasi publik di DPR, bukan malah mendiamkan.

Publik sekarang ini diperhadapkan pada dua agenda besar yang mendesak dilakukan dalam mengadvokasi RUU Perampasan Aset tersebut.

Pertama, konsentrasi mengawal desakan percepatan pembahasan RUU tersebut.

Penyampaian terbuka Pemerintah berharap RUU ini menjadi prioritas sepertinya tidak bisa dijadikan pegangan begitu saja.

Tahun 2021, pernyataan yang sama juga sempat disampaikan namun tidak membuahkan hasil.

Begitu juga DPR semula menjajikan akan menjadikan prioritas setelah reses, tapi hingga sekarang belum ada progress.

Apalagi sekarang ini sudah masuk tahun politik, para wakil rakyat di parlemen lebih tersita waktunya untuk konsolidasi pemenangan pemilu legislatif dan Pilpres.

Kedua pentingnya mengawal substansi materi pengaturan dalam RUU.

Meski banyak kalangan menyebut RUU ini lebih maju dan progresif, tetap perlu dicermati dengan kritis.

Potensial potensi Abuse of Power atau penyalahgunaan kekuasaan dalam pengelolaan aset di RUU Perampasan Aset ini mendapat perhatian jika dilakukan satu lembaga.

RUU Perampasan aset tanpa pemidanaan pada dasarnya merujuk pada Article 54 ayat (1) huruf c UNCAC.

Mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan ini awalnya diberlakukan dalam kerangka konvensi bangsa-bangsa melawan korupsi untuk kasus-kasus yang pelakunya tidak dapat dituntut karena kematian, pelarian atau ketidakhadiran atau dalam kasus-kasus lain yang sesuai dalam kerangka.

Perlu juga diingat bahwa dalam UNCAC sebagai rujukan asal NCB memberi mandat agar membentuk badan khusus dengan tugas membangun penyadaran, mencegah dan memeperangi korupsi melalui penegakan hukum yaitu artikel 6 dan artikel 36 yang disebut anti korupsi agency.

Bahkan UNCAC mengharuskan badan agensi tersebut idependen agar efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Misalnya di Indonesia, harusnya permohonan perampasan asset bisa oleh KPK seperti di Bulgaria.

Tapi dalam RUU ini sepertinya hanya memberi kewenangan kepada kewenangan kepada pengacara negara yang punya kewenangan.

Itupun dengan system beracara yang masih membuka potensi terjadinya manipulasi atau suap.

RUU Perampasan Aset ini diyatakan sebagai rezim perampasan aset secara perdata (Civil Forfeiture).

Padahal dalam UNCAC sendiri tidak pernah menyebutkannya sebagai rezim hukum perdata/civil law/privat law.

Yayasan ASA IndonesiaPembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset diminta dilakukan dengan cermat.

Jangan sampai beleid itu justru menimbulkan masalah setelah disahkan.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved