Jumat, 3 Oktober 2025

Pemilu 2019

Catatan Penting Perludem Terkait Putusan MK Tolak Uji Materi PT 20 Persen

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Tribunnews.com/Achmad Rafiq
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Ada beberapa catatan penting Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang harus disampaikan atas putusan MK, khususnya terkait pertimbangan dan pemaknaan MK terhadap Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945.

Direktur Eksekutif Perludem  Titi Anggraini menjelaskan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

Bagi orang yang tidak belajar hukum sekalipun, akan dengan sangat mudah memahami, bahwa konstitusi mengunci dan mengatur secara jelas dan tegas, bahwa yang berhak mengajukan pasangan calon presiden adalah setiap partai politik yang sudah ditetapkan oleh peserta pemilihan umum.

Baca: Perludem Nilai Putusan MK Terkait PT Jauh dari Logika Konstitusi

Prihal frasa “atau gabungan partai politik” adalah frasa yang bersifat alternatif, yang boleh dilakukan partai, tetapi tidak wajib dilakukan.

Ada derajat yang berbeda antara frasa “pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik peserta pemilihan umum” dengan “atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum”.

Frasa pertama adalah hal yang dijamin oleh konstitusi untuk dilaksanakan.

Perihal partai ingin bergabung atau membentuk koalisi dengan partai politik dalam mengusung pasangan calon presiden, itu menjadi pilihan bagi partai politik. Hal ini yang dijelaskan di dalam frasa kedua.

Sekali lagi, mahasiswa hukum tingkat pertama pun akan dengan sangat mudah memahami ini. Bahkan, orang y yang tidak belajar hukum sekalipun bisa dengan sangat mudah menjelaskan makna Pasal 6A Ayat (2) UU NRI ini.

Selain itu, kata Titi, di dalam pertimbangannya juga, terkait dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, MK dalam pertimbangannya poin [3.14], halaman 124-125, mengalami lompatan logika yang sangat tidak tepat.

MK secara tiba-tiba memaknai Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai constitutional engineering, mendorong partai-partai yang memiliki platform, visi atau ideology yang sama atau serupa berkoalisi dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden sebagai jabatan eksekutif puncak dalam presidensial.

"Ini lompatan logika yang sangat tidak tepat. MK tidak memperhatikan dan mempertimbangkan frasa yang menjadi kunci di dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, yakni” pasangan calon presiden diajukan oleh partai politik peserta pemilihan umum” jelas Titi kepada Tribunnews.com, Jumat (12/1/2018).

Padahal ini, imuhnya, hal prinsipil sebagai hak partai politik peserta pemilihan umum untuk mencalonkan presiden.

MK justru fokus ke frasa “gabungan partai politik” yang merupakan norma alternatif yang tidak bisa dipaksakan kepada partai politik.
Lebih lanjut ia mengatakan, hakim MK yang notabene adalah negarawan yang paham hukum dan konstitusi, bergelar professor dan doktor, pastinya mahfum terhadap hal ini. Tak perlu ragukan itu.
Namun, entah mengapa, lompatan logika MK ke constitutional engineering untuk penguatan sistem presidensial tiba-tiba muncul. Sesuatu yang tak disebutkan eksplisit di dalam konstitusi.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved