Sabtu, 4 Oktober 2025

Akses Terapi Kanker Paru Masih Tertinggal, CISC Dorong Reformasi Sistem Kesehatan

Kanker paru masih menjadi penyebab kematian utama akibat kanker, baik secara global maupun di Indonesia.

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
Tribunnews.com
KANKER PARU - Ketua Umum CISC, Ariyanthi Baramuli Putri (kedua dari kanan); Patricia Susanna, Penyintas Kanker Paru (paling kanan) dan Rachmayunila, Penyintas kanker paru (Ketiga dari kanan) saat saat Media Discussion bertajuk “Akses Terapi Inovatif Kanker Paru: Perlunya Reformasi Regulasi & Optimalisasi JKN di Jakarta, Rabu (27/8/2025). 

Angka itu hanya 3,7?ri total klaim JKN yang mencapai Rp175,1 triliun.

Secara spesifik, anggaran BPJS untuk kanker paru pada 2020–2021 hanya sekitar Rp73 miliar atau 2,1?ri total anggaran kanker sebesar Rp3,5 triliun.

“Sudah saatnya akses terhadap terapi inovatif dan kebijakan preventif ditempatkan sebagai prioritas nasional. Tanpa langkah konkret, pasien kanker paru akan terus tertinggal dari perkembangan pengobatan global,” katanya.

Suara Pasien: Harapan untuk Hidup Lebih Berkualitas

Patricia Susanna, penyintas kanker paru, menuturkan beratnya perjuangan yang harus dijalani pasien karena selain rasa sakit fisik, kami menghadapi tekanan psikologis, beban ekonomi, dan stigma sosial.

"Dukungan JKN yang inklusif serta akses terhadap terapi inovatif sesuai kondisi pasien akan sangat membantu kami untuk tetap hidup dengan kualitas lebih baik,” ujarnya.

Patricia juga menekankan pentingnya pemerataan fasilitas kesehatan agar diagnosis dapat lebih cepat dan akurat.

Senada, penyintas lainnya, Rachmayunila, menyoroti perlunya edukasi skrining dan deteksi dini, terutama bagi kelompok berisiko tinggi.

Ia menekankan stigma lama bahwa kanker paru hanya menyerang perokok aktif sudah tidak relevan.

Menurut European Journal of Cancer, 10–25% kasus kanker paru justru terjadi pada orang yang tidak pernah merokok.

Faktor risiko lain meliputi paparan polusi udara, asap rokok pasif, hingga zat karsinogen di lingkungan kerja.

“Perluasan skrining dan deteksi dini harus menjadi prioritas agar pasien mendapat pengobatan lebih cepat. Komunitas pasien juga harus dilibatkan sebagai jembatan suara pasien dalam kebijakan kesehatan,” tutur Rachmayunila.

Aryanthi Baramuli Putri menegaskan kembali bahwa pengalaman nyata pasien mencerminkan kompleksitas penanganan kanker. 

“Komunitas pasien tidak boleh dipandang sekadar pelengkap, melainkan mitra strategis dalam perumusan kebijakan. Hanya melalui kolaborasi erat antara pemerintah, swasta, tenaga medis, dan komunitas pasien, perubahan nyata dapat terwujud,” pungkasnya.

(Tribunnews.com/ Eko Sutriyanto)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved