Akses Terapi Kanker Paru Masih Tertinggal, CISC Dorong Reformasi Sistem Kesehatan
Kanker paru masih menjadi penyebab kematian utama akibat kanker, baik secara global maupun di Indonesia.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesian Cancer Information and Support Center Association (CISC) menegaskan perlunya penguatan sistem kesehatan nasional agar lebih berpihak pada pasien dan selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan medis.
Ketua Umum CISC, Aryanthi Baramuli Putri mengatakan, empat agenda utama reformasi kesehatan, yakni penyediaan informasi dan edukasi memadai terkait kanker paru dan metode pengobatan terkini; layanan kesehatan yang inklusif dan merata di seluruh Indonesia.
"Juga dukungan penanganan berbasis tim multidisiplin dan Akses yang terbuka dan setara terhadap terapi inovatif," katanya kepada wartawan saat Media Discussion bertajuk “Akses Terapi Inovatif Kanker Paru: Perlunya Reformasi Regulasi & Optimalisasi JKN di Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Baca juga: Peringatan Hari Kanker Paru Sedunia pada 1 Agustus, Simak Sejarahnya
Jika empat langkah ini diambil diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup pasien kanker paru di Tanah Air.
Kanker paru masih menjadi penyebab kematian utama akibat kanker, baik secara global maupun di Indonesia.
Data GLOBOCAN 2022 menunjukkan terdapat 2,4 juta kasus baru kanker paru di dunia, dengan kontribusi 12,4 persen dari seluruh kasus kanker dan 18,7 persen dari total kematian akibat kanker.
Di Indonesia, kanker paru menyumbang 9,5 persen dari kasus kanker serta menjadi penyebab 14,1 persen kematian akibat kanker.
"Lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar pasien baru terdiagnosis saat sudah memasuki stadium lanjut, sehingga peluang keberhasilan pengobatan semakin kecil," kata Aryanthi Baramuli.
Ketertinggalan Akses Terapi Inovatif
Meski perkembangan ilmu medis semakin maju, sistem kesehatan nasional dinilai belum sepenuhnya menjamin hak pasien dalam memperoleh terapi inovatif. Salah satu contohnya adalah terapi target untuk kanker paru dengan mutasi EGFR positif.
Saat ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) baru menanggung terapi target generasi pertama dan kedua.
Padahal, terapi generasi ketiga sudah tersedia secara global dengan efektivitas lebih tinggi dalam mencegah penyebaran kanker ke otak.
"Fakta ini krusial mengingat sekitar 40 persen pasien kanker paru dengan mutasi EGFR berisiko mengalami metastasis otak," katanya.
Ketertinggalan ini juga tergambar dari ketersediaan obat. Berdasarkan laporan PhRMA’s Global Access to New Medicines Report, hanya 9?ri 460 obat inovatif yang dirilis global pada 2012–2021 tersedia di Indonesia, terendah di Asia Pasifik.
Proses adopsi pun masih lambat. Rata-rata butuh 45–48 bulan (hampir 4 tahun) agar obat kanker inovatif masuk Indonesia, dan 71 bulan (sekitar 6 tahun) untuk bisa ditanggung pembiayaan publik.
Keterbatasan Anggaran
Kendala lain adalah alokasi anggaran yang minim. Data BPJS Kesehatan 2024 mencatat biaya klaim pengobatan kanker mencapai Rp6,48 triliun, atau 17,4?ri total biaya penyakit katastropik.
Angka itu hanya 3,7?ri total klaim JKN yang mencapai Rp175,1 triliun.
Secara spesifik, anggaran BPJS untuk kanker paru pada 2020–2021 hanya sekitar Rp73 miliar atau 2,1?ri total anggaran kanker sebesar Rp3,5 triliun.
“Sudah saatnya akses terhadap terapi inovatif dan kebijakan preventif ditempatkan sebagai prioritas nasional. Tanpa langkah konkret, pasien kanker paru akan terus tertinggal dari perkembangan pengobatan global,” katanya.
Suara Pasien: Harapan untuk Hidup Lebih Berkualitas
Patricia Susanna, penyintas kanker paru, menuturkan beratnya perjuangan yang harus dijalani pasien karena selain rasa sakit fisik, kami menghadapi tekanan psikologis, beban ekonomi, dan stigma sosial.
"Dukungan JKN yang inklusif serta akses terhadap terapi inovatif sesuai kondisi pasien akan sangat membantu kami untuk tetap hidup dengan kualitas lebih baik,” ujarnya.
Patricia juga menekankan pentingnya pemerataan fasilitas kesehatan agar diagnosis dapat lebih cepat dan akurat.
Senada, penyintas lainnya, Rachmayunila, menyoroti perlunya edukasi skrining dan deteksi dini, terutama bagi kelompok berisiko tinggi.
Ia menekankan stigma lama bahwa kanker paru hanya menyerang perokok aktif sudah tidak relevan.
Menurut European Journal of Cancer, 10–25% kasus kanker paru justru terjadi pada orang yang tidak pernah merokok.
Faktor risiko lain meliputi paparan polusi udara, asap rokok pasif, hingga zat karsinogen di lingkungan kerja.
“Perluasan skrining dan deteksi dini harus menjadi prioritas agar pasien mendapat pengobatan lebih cepat. Komunitas pasien juga harus dilibatkan sebagai jembatan suara pasien dalam kebijakan kesehatan,” tutur Rachmayunila.
Aryanthi Baramuli Putri menegaskan kembali bahwa pengalaman nyata pasien mencerminkan kompleksitas penanganan kanker.
“Komunitas pasien tidak boleh dipandang sekadar pelengkap, melainkan mitra strategis dalam perumusan kebijakan. Hanya melalui kolaborasi erat antara pemerintah, swasta, tenaga medis, dan komunitas pasien, perubahan nyata dapat terwujud,” pungkasnya.
(Tribunnews.com/ Eko Sutriyanto)
Terlalu Berlebihan Konsumsi Makanan Ultra Olahan Picu Kanker Paru-paru |
![]() |
---|
Tanggal 1 Agustus 2025 Memperingati Hari Apa? Terdapat 4 Perayaan Besar |
![]() |
---|
Peringatan Hari Kanker Paru Sedunia pada 1 Agustus, Simak Sejarahnya |
![]() |
---|
Deteksi Dini dan Operasi Minim Invasif Jadi Terobosan Penanganan Penyakit Paru |
![]() |
---|
Tak Pernah Merokok, Tapi Anak dan Perempuan Bisa Kena Kanker Paru, Kok Bisa? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.