Jumat, 3 Oktober 2025

Akses Terapi Kanker Paru Masih Tertinggal, CISC Dorong Reformasi Sistem Kesehatan

Kanker paru masih menjadi penyebab kematian utama akibat kanker, baik secara global maupun di Indonesia.

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
Tribunnews.com
KANKER PARU - Ketua Umum CISC, Ariyanthi Baramuli Putri (kedua dari kanan); Patricia Susanna, Penyintas Kanker Paru (paling kanan) dan Rachmayunila, Penyintas kanker paru (Ketiga dari kanan) saat saat Media Discussion bertajuk “Akses Terapi Inovatif Kanker Paru: Perlunya Reformasi Regulasi & Optimalisasi JKN di Jakarta, Rabu (27/8/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesian Cancer Information and Support Center Association (CISC) menegaskan perlunya penguatan sistem kesehatan nasional agar lebih berpihak pada pasien dan selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan medis.

Ketua Umum CISC, Aryanthi Baramuli Putri mengatakan, empat agenda utama reformasi kesehatan, yakni penyediaan informasi dan edukasi memadai terkait kanker paru dan metode pengobatan terkini;  layanan kesehatan yang inklusif dan merata di seluruh Indonesia.

"Juga dukungan penanganan berbasis tim multidisiplin dan Akses yang terbuka dan setara terhadap terapi inovatif," katanya kepada wartawan saat Media Discussion bertajuk “Akses Terapi Inovatif Kanker Paru: Perlunya Reformasi Regulasi & Optimalisasi JKN di Jakarta, Rabu (27/8/2025).

Baca juga: Peringatan Hari Kanker Paru Sedunia pada 1 Agustus, Simak Sejarahnya

Jika empat langkah ini diambil  diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup pasien kanker paru di Tanah Air.

Kanker paru masih menjadi penyebab kematian utama akibat kanker, baik secara global maupun di Indonesia.

Data GLOBOCAN 2022 menunjukkan terdapat 2,4 juta kasus baru kanker paru di dunia, dengan kontribusi 12,4 persen dari seluruh kasus kanker dan 18,7 persen dari total kematian akibat kanker.

Di Indonesia, kanker paru menyumbang 9,5 persen dari kasus kanker serta menjadi penyebab 14,1 persen kematian akibat kanker.

"Lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar pasien baru terdiagnosis saat sudah memasuki stadium lanjut, sehingga peluang keberhasilan pengobatan semakin kecil," kata Aryanthi Baramuli. 

Ketertinggalan Akses Terapi Inovatif

Meski perkembangan ilmu medis semakin maju, sistem kesehatan nasional dinilai belum sepenuhnya menjamin hak pasien dalam memperoleh terapi inovatif. Salah satu contohnya adalah terapi target untuk kanker paru dengan mutasi EGFR positif.

Saat ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) baru menanggung terapi target generasi pertama dan kedua.

Padahal, terapi generasi ketiga sudah tersedia secara global dengan efektivitas lebih tinggi dalam mencegah penyebaran kanker ke otak.

"Fakta ini krusial mengingat sekitar 40 persen pasien kanker paru dengan mutasi EGFR berisiko mengalami metastasis otak," katanya.

Ketertinggalan ini juga tergambar dari ketersediaan obat. Berdasarkan laporan PhRMA’s Global Access to New Medicines Report, hanya 9?ri 460 obat inovatif yang dirilis global pada 2012–2021 tersedia di Indonesia, terendah di Asia Pasifik.

Proses adopsi pun masih lambat. Rata-rata butuh 45–48 bulan (hampir 4 tahun) agar obat kanker inovatif masuk Indonesia, dan 71 bulan (sekitar 6 tahun) untuk bisa ditanggung pembiayaan publik.

Keterbatasan Anggaran

Kendala lain adalah alokasi anggaran yang minim. Data BPJS Kesehatan 2024 mencatat biaya klaim pengobatan kanker mencapai Rp6,48 triliun, atau 17,4?ri total biaya penyakit katastropik.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved