Gangguan Bipolar dan Skizofrenia Tak Bisa Diabaikan! Jangan Tunda Konsultasi dan Terapi
Masyarakat dihimbau untu.k tidak menunda konsultasi dan terapi jika menyadari adanya Gangguan Bipolar (GB) dan Skizofrenia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Masyarakat dihimbau untuk tidak menunda konsultasi dan terapi jika menyadari adanya Gangguan Bipolar (GB) dan Skizofrenia, baik pada diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan sekitar.
Gangguan Bipolar adalah kondisi kesehatan mental yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang ekstrem, dari fase mania (sangat gembira, penuh energi) ke fase depresi (sangat sedih, putus asa).
Baca juga: Menkes Ungkap 9 Persen Anak Indonesia Alami Gangguan Mental: Anxiety Hingga Skizofrenia
Perubahan ini bisa terjadi dalam hitungan hari, minggu, atau bahkan bulan, dan dapat memengaruhi aktivitas sehari-hari, pola tidur, konsentrasi, serta hubungan sosial.
Skizofrenia adalah gangguan mental kronis dan kompleks yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Penderita skizofrenia sering mengalami kesulitan membedakan antara kenyataan dan khayalan, yang dapat berdampak besar pada kehidupan sosial, pekerjaan, dan keseharian mereka
GB dan Skizofrenia memerlukan penanganan medis yang tepat dan cepat guna mencegah perburukan kondisi pasien.
Baca juga: Dituding Idap Bipolar oleh Netizen, Nunung: Saya Marah Nangis Manusiawi
Konsultasi dan terapi sebaiknya segera dilakukan kepada dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater).
Penatalaksanaan Skizofrenia dan GB idealnya bersifat komprehensif. Yang paling utama adalah memperbaiki kekacauan kimia otak melalui pengobatan, serta melibatkan orang-orang terdekat untuk mendukung pasien menjalani pengobatan secara baik dan teratur.
Peran pemerintah juga sangat penting, terutama dalam penyediaan skema pengobatan, termasuk pembiayaannya agar berkesinambungan, serta dalam menciptakan lapangan kerja yang sesuai dengan kapasitas penderita.
dr. Ashwin Kandouw, Sp.KJ, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, menjelaskan bahwa Skizofrenia merupakan gangguan mental berat yang bersifat kronis dan mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku penderita.
Gangguan pikiran bisa berupa kekacauan proses pikir yang terlihat melalui cara bicara yang kacau, atau terganggunya isi pikir yang tampak sebagai waham, yaitu keyakinan yang salah dan tidak sesuai dengan realitas tetapi tetap diyakini oleh penderita.
Gangguan perasaan bisa muncul sebagai penumpulan emosi atau mood yang kacau.
Gangguan perilaku biasanya tampak sebagai perilaku yang kacau, bahkan bisa bersifat agresif. Seringkali juga muncul gangguan persepsi panca indera berupa halusinasi, yaitu munculnya persepsi (pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, rabaan) tanpa adanya rangsangan yang nyata.
Gangguan Bipolar (GB) merupakan gangguan mood atau suasana perasaan. Kata “bi” berarti dua, dan “polar” berarti kutub. Artinya, penderita bipolar mengalami perubahan mood yang ekstrem dari kutub manik ke kutub depresi, dan sebaliknya.
Beberapa gejala pada fase manik meliputi rasa gembira dan percaya diri yang berlebihan, banjir ide secara bersamaan, peningkatan tenaga dan semangat yang luar biasa, dorongan bicara dan belanja yang sulit dikendalikan, impulsivitas, serta peningkatan nafsu makan dan libido.
Sedangkan pada fase depresi, penderita mengalami rasa sedih yang berlebihan dan sulit dikendalikan, kehilangan minat pada hobi, penurunan energi dan konsentrasi, perubahan nafsu makan, gangguan tidur, penurunan kepercayaan diri, hingga munculnya kecenderungan melukai diri sendiri bahkan ingin mengakhiri hidup.
“Walaupun GB dan Skizofrenia adalah dua gangguan berbeda, ada beberapa kesamaan di antara keduanya,” lanjut dr. Ashwin.
“Keduanya sama-sama melibatkan gangguan keseimbangan kimia otak, bersifat kronis (berlangsung lama), dan bersifat kambuhan. Gangguan ini juga menurunkan fungsi serta produktivitas penderita, dan menyebabkan penderitaan, baik bagi pasien maupun orang-orang terdekatnya.” katanya.
Ia menegaskan bahwa semakin cepat pasien mendapatkan pertolongan medis yang tepat, maka hasil pengobatannya akan jauh lebih baik.
Sebaliknya, semakin lambat ditangani, peluang pemulihan juga semakin kecil. Kekambuhan yang sering terjadi akan menyebabkan kerusakan sel otak yang tidak bisa diperbaiki.
Oleh karena itu, semakin jarang kambuh, semakin banyak sel otak yang terselamatkan. Dan sebaliknya, semakin sering kambuh, semakin besar kerusakan sel otak yang terjadi—dan sel otak yang rusak cenderung tidak dapat pulih kembali.
“Dengan pemahaman ini, menjadi sangat penting bagi penderita Skizofrenia dan GB untuk segera terdiagnosis dan mendapatkan penanganan medis oleh tenaga profesional yang kompeten. Selain itu, pasien juga perlu mendapatkan pengobatan terbaik dan termutakhir, serta menjalani terapi secara teratur guna mengendalikan gejala dan mencegah kekambuhan,” kata dr. Ashwin.
Ia juga menyebutkan bahwa baik Skizofrenia maupun GB memiliki prevalensi sekitar 1 persen dari populasi.
Namun demikian, terdapat sejumlah kendala yang menghambat penderita dalam mengakses pelayanan medis, antara lain: kurangnya pemahaman masyarakat, terbatasnya akses terhadap fasilitas kesehatan dan obat-obatan, keengganan pasien dan keluarga untuk mencari pengobatan medis, penyangkalan terhadap kondisi medis yang dialami, stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa, serta kecenderungan mencari pengobatan alternatif terlebih dahulu.
“Dengan memahami berbagai tantangan ini, maka setiap pihak perlu berkontribusi agar penderita bisa segera memperoleh pertolongan yang terbaik. Ketidakpahaman dapat diatasi dengan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat luas. Pemerintah juga perlu memperbaiki akses layanan dan ketersediaan obat-obatan, serta seluruh pihak harus turut serta dalam upaya destigmatisasi,” imbuh dr. Ashwin.
Hanadi Setiarto, Country Group Head Wellesta Indonesia, menyatakan bahwa sebagai perusahaan yang berfokus pada kesehatan dan teknologi medis, Wellesta berkomitmen terhadap peningkatan kualitas hidup pasien, termasuk penderita GB dan Skizofrenia.
“Sangat penting meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terkait kondisi penyakit mental yang kerap tidak disadari. Kami menyadari bahwa jika tidak diatasi dengan baik, kasus GB dan Skizofrenia akan terus meningkat, yang pada akhirnya menurunkan kualitas hidup, meningkatkan angka kematian dini, dan turut berkontribusi terhadap penyakit fisik seperti kardiovaskular, metabolik, dan infeksi,” jelas Hanadi.
Dikatakannya, kolaborasi adalah kunci dalam memperbaiki penanganan kesehatan mental di Indonesia. Oleh karena itu, perusahaan secara aktif menjalin kerja sama dengan:
"Kami bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan RI dan dinas-dinas terkait untuk mendukung program kesehatan mental nasional. Dukungan ini mencakup peningkatan layanan kesehatan mental dasar, pelatihan tenaga medis, hingga partisipasi dalam kampanye kesehatan mental nasional," katanya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.