WHO: Satu Miliar Lebih Orang di Dunia Alami Gangguan Mental, Mulai Depresi Hingga Kecemasan
Telehealth atau layanan kesehatan mental jarak jauh pun semakin diadopsi di berbagai belahan dunia, meski belum merata.Perlu ada peningkatan investasi
Penulis:
Aisyah Nursyamsi
Editor:
willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan terbaru bahwa lebih dari satu miliar orang di dunia saat ini hidup dengan kondisi kesehatan mental terganggu, mulai dari kecemasan hingga depresi. Angka yang besar ini bukan hanya berdampak pada kehidupan individu, tetapi juga menimbulkan beban sosial dan ekonomi yang signifikan.
Baca juga: WHO Kecam Serangan Israel ke RS Gaza, Akses Kesehatan Jadi Lumpuh
Dalam laporan bertajuk World Mental Health Today dan Atlas Kesehatan Mental 2024, WHO menegaskan perlunya peningkatan investasi, reformasi kebijakan, dan perluasan akses layanan yang lebih inklusif. Kondisi kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan disebut menjadi penyebab kedua terbesar kecacatan jangka panjang, serta menyumbang kerugian ekonomi global hingga triliunan dolar setiap tahun.
Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus menegaskan bahwa dunia tidak bisa lagi menunda transformasi layanan kesehatan mental. “Transformasi layanan kesehatan mental merupakan salah satu tantangan kesehatan masyarakat yang paling mendesak,” ujar Dr. Tedros dilansir dari website resmi, Rabu (3/9/2025).
“Berinvestasi dalam kesehatan mental berarti berinvestasi pada manusia, komunitas, dan perekonomian sebuah investasi yang tidak boleh diabaikan oleh negara mana pun," lanjutnya.
WHO mencatat, pada tahun 2021 saja, lebih dari 727.000 orang meninggal akibat bunuh diri. Angka ini menjadikannya salah satu penyebab utama kematian di kalangan anak muda lintas negara dan latar belakang ekonomi.
Target global Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Sustainable Development Goals (SDGs) adalah menurunkan angka bunuh diri hingga sepertiga pada 2030.
Namun, dengan kondisi saat ini, WHO memperkirakan penurunan yang dicapai hanya sekitar 12 persen. “Setiap pemerintah dan setiap pemimpin memiliki tanggung jawab untuk bertindak dengan segera dan memastikan bahwa perawatan kesehatan mental diperlakukan bukan sebagai hak istimewa, melainkan sebagai hak dasar bagi semua orang,” tegas Dr. Tedros.
Meski ada sejumlah kemajuan, terutama sejak pandemi COVID-19, laporan WHO menyoroti masih besarnya kesenjangan antara negara maju dan negara berpenghasilan rendah. Negara-negara kaya bisa mengalokasikan hingga 65 dolar AS per orang untuk layanan kesehatan mental, sementara negara miskin hanya 0,04 dolar AS.
Baca juga: Kesehatan Mental Rentan Menimpa Remaja, Bisa Jadi Lingkaran Setan Jika Tak Dituntaskan
Akibatnya, akses perawatan masih timpang di negara-negara berpenghasilan rendah, kurang dari 10 persen penderita gangguan mental yang mendapat perawatan. Median anggaran pemerintah untuk kesehatan mental di seluruh dunia pun stagnan, yakni hanya 2 persen dari total anggaran kesehatan.
Situasi ini berbanding terbalik dengan beban penyakit mental yang terus meningkat. Meski menghadapi tantangan besar, laporan WHO juga menunjukkan sisi positif.
Lebih dari 80 persen negara kini sudah memasukkan layanan dukungan kesehatan mental dan psikososial ke dalam respon darurat mereka, angka yang meningkat pesat dibandingkan tahun 2020. Inisiatif berbasis komunitas, seperti program kesehatan mental di sekolah, pencegahan bunuh diri, dan pengembangan anak usia dini, juga mulai berkembang.
Telehealth atau layanan kesehatan mental jarak jauh pun semakin diadopsi di berbagai belahan dunia, meski belum merata.
WHO menekankan empat langkah penting yang perlu segera diambil.
Pembiayaan yang lebih adil, reformasi hukum berbasis hak asasi manusia, investasi tenaga kesehatan mental, serta transisi ke perawatan berbasis komunitas.
“Berinvestasi dalam kesehatan mental berarti melindungi masa depan generasi muda dan memperkuat ketahanan sosial,” kata Dr Tedros.
Baca juga: Risiko Gangguan Kesehatan Mental pada Remaja Dimulai dari Kecanduan Gadget
Dengan rencana Perserikatan Bangsa-Bangsa menggelar Pertemuan Tingkat Tinggi pada 25 September 2025 di New York terkait penyakit tidak menular dan kesehatan mental, isu ini dipastikan akan menjadi sorotan global.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.