Tiongkok Dorong Pariwisata Kuil Jadi Sumber Pendapatan Baru
Di balik gemerlap cakrawala dan statistik ekonomi Tiongkok, tersimpan fenomena yang lebih tenang dan lebih beraroma dupa.
Penggabungan keyakinan dan otoritarianisme ini bukanlah kebetulan, melainkan strategis. Dengan memonopoli ruang-ruang keagamaan, PKT memastikan bahwa bahkan perbedaan pendapat spiritual pun dialihkan ke saluran-saluran yang disahkan negara.
Hasilnya?
Sebuah versi Buddhisme yang disucikan dan dikomersialkan, yang berfungsi sebagai katup penekan bagi frustrasi publik sekaligus sumber pendapatan yang menguntungkan.
Kuil-kuil masa kini lebih berfokus pada kewirausahaan daripada pencerahan.
Banyak kuil telah ditetapkan sebagai objek wisata 5A, mengenakan biaya masuk yang tinggi, dan menjual berbagai macam barang, mulai dari kecap kulit jeruk keprok seharga ¥58 hingga minuman keras senilai ¥10 juta per tahun.
Platform daring, melaporkan lonjakan penjualan gelang bertema kuil sebesar 1.000%.
Beberapa kuil bahkan telah meluncurkan boy band Buddha di Douyin (mitra TikTok di Tiongkok), lengkap dengan pernak-pernik, klub penggemar, dan acara belanja langsung.
Ini bukan sekadar kapitalisme oportunis yang didukung negara. PKT telah aktif mempromosikan pariwisata budaya sebagai pilar konsumsi domestik.
Menurut Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tiongkok, pemerintah sedang meluncurkan beragam produk pariwisata, termasuk situs keagamaan dan warisan, untuk meningkatkan belanja internal.
Akibatnya, negara telah menguasai setiap simpul rantai nilai pariwisata, mulai dari tiket dan barang dagangan hingga properti dan perdagangan digital.
Komersialisasi tidak berhenti di perbatasan Tiongkok. Kuil Shaolin, misalnya, mengoperasikan lebih dari 200 pusat budaya di luar negeri yang tersebar di lima benua.
Pusat-pusat ini memiliki dua tujuan: mempromosikan budaya Tiongkok di luar negeri dan menghasilkan pendapatan asing.
Ekspansi global ini menggarisbawahi bagaimana PKT telah mengubah bahkan warisan spiritual menjadi alat kekuatan lunak dan komoditas ekspor.
Banyak pengamat berpendapat bahwa ekonomi kuil yang berkembang pesat di Tiongkok bukanlah kebangkitan iman sejati, melainkan sebuah pameran yang dikurasi dan dibentuk oleh kepentingan negara. Suvenir dan persembahan komersial yang berhias sering dianggap sebagai simbol hampa yang dikemas dengan indah, namun kurang memiliki kedalaman spiritual.
Penindasan resmi selama puluhan tahun, terutama selama Revolusi Kebudayaan, terus membayangi ekspresi keagamaan.
Saat ini, meskipun kuil-kuil ramai dengan aktivitas, para kritikus berpendapat bahwa esensi spiritualitas masih terabaikan.
Transformasi situs-situs suci menjadi pusat-pusat yang menguntungkan tampaknya bukan lagi tentang ibadah, melainkan lebih tentang orkestrasi.
| Sindiran Prilly untuk Menpar Widiyanti yang Diduga Minta Air Galon untuk Mandi, Singgung Pengalaman |
|
|---|
| Setelah Geger Air Galon untuk Mandi, Anak Buah Bobby Nasution Wajibkan Orang Beri Kado saat Ultah |
|
|---|
| Kritik Widiyanti Putri Mandi Air Galon saat Kunker, Prilly Latuconsina Dianggap Pas Jadi Menteri |
|
|---|
| JTA 2025 Dibuka, Disparekraf Dorong Pelaku Wisata Jakarta Unjuk Daya Tarik |
|
|---|
| Menpar Widiyanti Putri Wardhana Disebut Minta Air Galon untuk Mandi saat Kunjungan di Pelosok |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.