Tiongkok Dorong Pariwisata Kuil Jadi Sumber Pendapatan Baru
Di balik gemerlap cakrawala dan statistik ekonomi Tiongkok, tersimpan fenomena yang lebih tenang dan lebih beraroma dupa.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di balik gemerlap cakrawala dan statistik ekonomi Tiongkok, tersimpan fenomena yang lebih tenang dan lebih beraroma dupa.
Yakni, perekonomian kuil yang bangkit pesat.
Dikutip dari The Singapore Post, Rabu (16/7/2025), kuil yang dahulu merupakan ruang sakral untuk introspeksi dan perlindungan spiritual di Tiongkok, kini bertransformasi.
Rumah ibadah itu menjadi pusat komersial yang ramai, lengkap dengan loket tiket, konter penjualan, dan biksu yang melakukan streaming langsung.
Namun, apakah kebangkitan wisata religi ini merupakan kebangkitan budaya sejati, ataukah mekanisme negara yang terencana di bawah Partai Komunis Tiongkok (PKT)?
Pada 2023, ekonomi kuil Tiongkok bernilai hampir ¥90 miliar, dengan proyeksi akan melampaui ¥100 miliar pada tahun 2025.
Hampir 70 persen konsumen telah mengunjungi kuil, dengan 47,5 persen berusia 19 hingga 30 tahun.
Pergeseran demografis ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Kecewa dengan stagnasi ekonomi, ketidakpastian pekerjaan, dan iklim politik yang mencekik, banyak anak muda Tiongkok beralih dari persaingan ketat.
Namun, ini bukanlah kebangkitan spiritual; melainkan gejala keputusasaan.
Sebagaimana dicatat oleh seorang penulis Kanada-Tiongkok, represi politik, ketidakpastian ekonomi, dan keterasingan sosial telah membuat kaum muda "tidak punya tempat untuk mundur atau maju."
Dalam kekosongan ini, kuil tidak hanya menawarkan penghiburan, tetapi juga pelarian sementara dari sistem yang hanya menawarkan sedikit harapan.
Yang menjadikan tren ini lebih dari sekadar keingintahuan budaya adalah keterlibatan mendalam PKT dalam ekonomi kuil. Alih-alih menjadi lembaga keagamaan yang independen, kuil-kuil di Tiongkok merupakan entitas yang dikendalikan negara.
Mereka beroperasi di bawah kepemimpinan yang ditunjuk partai, bahkan beberapa di antaranya memajang potret Xi Jinping dan mempromosikan loyalitas partai sebagai bagian dari pesan spiritual mereka.
Penggabungan keyakinan dan otoritarianisme ini bukanlah kebetulan, melainkan strategis. Dengan memonopoli ruang-ruang keagamaan, PKT memastikan bahwa bahkan perbedaan pendapat spiritual pun dialihkan ke saluran-saluran yang disahkan negara.
Hasilnya?
Sebuah versi Buddhisme yang disucikan dan dikomersialkan, yang berfungsi sebagai katup penekan bagi frustrasi publik sekaligus sumber pendapatan yang menguntungkan.
Kuil-kuil masa kini lebih berfokus pada kewirausahaan daripada pencerahan.
Banyak kuil telah ditetapkan sebagai objek wisata 5A, mengenakan biaya masuk yang tinggi, dan menjual berbagai macam barang, mulai dari kecap kulit jeruk keprok seharga ¥58 hingga minuman keras senilai ¥10 juta per tahun.
Platform daring, melaporkan lonjakan penjualan gelang bertema kuil sebesar 1.000%.
Beberapa kuil bahkan telah meluncurkan boy band Buddha di Douyin (mitra TikTok di Tiongkok), lengkap dengan pernak-pernik, klub penggemar, dan acara belanja langsung.
Ini bukan sekadar kapitalisme oportunis yang didukung negara. PKT telah aktif mempromosikan pariwisata budaya sebagai pilar konsumsi domestik.
Menurut Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tiongkok, pemerintah sedang meluncurkan beragam produk pariwisata, termasuk situs keagamaan dan warisan, untuk meningkatkan belanja internal.
Akibatnya, negara telah menguasai setiap simpul rantai nilai pariwisata, mulai dari tiket dan barang dagangan hingga properti dan perdagangan digital.
Komersialisasi tidak berhenti di perbatasan Tiongkok. Kuil Shaolin, misalnya, mengoperasikan lebih dari 200 pusat budaya di luar negeri yang tersebar di lima benua.
Pusat-pusat ini memiliki dua tujuan: mempromosikan budaya Tiongkok di luar negeri dan menghasilkan pendapatan asing.
Ekspansi global ini menggarisbawahi bagaimana PKT telah mengubah bahkan warisan spiritual menjadi alat kekuatan lunak dan komoditas ekspor.
Banyak pengamat berpendapat bahwa ekonomi kuil yang berkembang pesat di Tiongkok bukanlah kebangkitan iman sejati, melainkan sebuah pameran yang dikurasi dan dibentuk oleh kepentingan negara. Suvenir dan persembahan komersial yang berhias sering dianggap sebagai simbol hampa yang dikemas dengan indah, namun kurang memiliki kedalaman spiritual.
Penindasan resmi selama puluhan tahun, terutama selama Revolusi Kebudayaan, terus membayangi ekspresi keagamaan.
Saat ini, meskipun kuil-kuil ramai dengan aktivitas, para kritikus berpendapat bahwa esensi spiritualitas masih terabaikan.
Transformasi situs-situs suci menjadi pusat-pusat yang menguntungkan tampaknya bukan lagi tentang ibadah, melainkan lebih tentang orkestrasi.
Sindiran Prilly untuk Menpar Widiyanti yang Diduga Minta Air Galon untuk Mandi, Singgung Pengalaman |
![]() |
---|
Setelah Geger Air Galon untuk Mandi, Anak Buah Bobby Nasution Wajibkan Orang Beri Kado saat Ultah |
![]() |
---|
Kritik Widiyanti Putri Mandi Air Galon saat Kunker, Prilly Latuconsina Dianggap Pas Jadi Menteri |
![]() |
---|
JTA 2025 Dibuka, Disparekraf Dorong Pelaku Wisata Jakarta Unjuk Daya Tarik |
![]() |
---|
Menpar Widiyanti Putri Wardhana Disebut Minta Air Galon untuk Mandi saat Kunjungan di Pelosok |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.