Jumat, 3 Oktober 2025

Kasus pemerkosaan anak di Sumbar: Ibu korban berharap keadilan setelah hakim vonis bebas terdakwa

RH mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) karena majelis hakim di Pengadilan Negeri Lubuk Basung menjatuhkan vonis bebas kepada…

BBC Indonesia
Kasus pemerkosaan anak di Sumbar: Ibu korban berharap keadilan setelah hakim vonis bebas terdakwa 

“Dengan informasi [menyatakan bahwa] pelaku bebas, ini semakin mendorong kami harus menggunakan cara-cara yang cepat untuk merespon kasus ini. Bukan merespon secara memberikan layanan secara langsung, karena itu bukan tupoksi kami, tapi merespon pengawasan secara lebih responsif,” dia menambahkan.

Dian menekankan kekerasan berbasis gender perlu disikapi dengan sangat serius karena ini menjadi akar banyak permasalahan dan kekerasan.

Untuk kasus di Kabupaten Agam, imbuhnya, KPAI tidak akan sebatas merespons kasus tapi juga merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan layanan supaya lebih dekat dengan korban.

“Kemudian memastikan juga ada proses-proses edukasi kepada masyarakat terkait kekerasan seksual ini sehingga masyarakat juga punya andil untuk melakukan pencegahan di lingkungan terdekat mereka dan juga melindungi anak-anak juga ... Jadi banyak pihak yang bisa kita libatkan terkait dengan kasus yang kita target untuk kasus di Agam ini,” kata Dian.

Mengapa terdakwa kekerasan seksual terhadap anak masih lolos dari hukuman?

Pakar hukum dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, mengatakan banyak terdakwa kekerasan seksual terhadap anak akhirnya divonis bebas atau kasusnya berhenti di penyidikan karena kegagalan pembuktian.

Itu alasan yang paling mungkin, dia berargumen, karena kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan ekstrem yang dari segi hukum dan moralitas sudah jelas.

“Ya kan memang kasus perkosaan dan selalu begitu ya. Persoalannya adalah alat buktinya... barangkali hanya keterangan korban lah yang bisa menjelaskan. Manakala korban tidak berhasil meyakinkan hakim ya itulah yang kemudian bisa terjadi,” dia menjelaskan kepada BBC News Indonesia.

Agustinus juga mengatakan bahwa hukum di Indonesia sejak dahulu “ada masalah” dengan saksi anak di bawah umur. Dia menjelaskan, supaya kesaksian anak bisa diterima sebagai barang bukti, perlu bantuan psikolog untuk meyakinkan hakim bahwa keterangan si anak dapat diterima sebagai suatu kejujuran.

“Nah jangan-jangan kita punya masalah nih di sini. Psikolognya ada atau tidak, kapabel atau tidak, bisa atau tidak membuktikan di peradilan ... di Jakarta, mungkin kita semua tersedia ya, Jakarta punya LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Cuma yang nggak di Jakarta bagaimana nih?”

Kasus serupa dengan yang di Lubuk Basung pernah terjadi tahun lalu di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ketika Polda menghentikan penyelidikan kasus dugaan pencabulan terhadap anak oleh ayah kandungnya karena “tidak cukup bukti”.

Komisioner KPAI Dian Sasmita mengatakan lembaganya menerima banyak laporan terkait kekerasan seksual yang mengalami hambatan keadilan. Hambatan keadilan itu ada di 2 level —hambatan keadilan di proses hukumnya - mulai dari penyidikan, penuntutan - kemudian hambatan terkait akses pada layanan pemulihan, layanan pendampingan, dan layanan lainnya.

Dari Januari hingga pertengahan Juli 2023, kata Dian, KPI menerima 236 laporan kasus kekerasan seksual yang mengalami hambatan keadilan – dengan jumlah pelaku atau teradu 212 orang.

“Nah kesemuanya ini ada hambatan keadilan di mana mayoritas adalah terkait dengan proses hukum, [terutama] pembuktian [seperti] kurang bukti, kemudian tersangka tidak ditangkap, tidak ditahan,” ungkapnya kepada BBC News Indonesia.

Dian menjelaskan, kehadiran UU TPKS sebenarnya mempermudah pembuktian kasus kekerasan seksual. Pasal 25, misalnya, mengatakan keterangan korban ditambah hasil visum sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Visum pun tidak dibatasi hanya secara fisik, tapi juga psikiatri.

Meski begitu, kata Dian, dimensi kekerasan seksual itu “sangat kompleks” dan ketidakadilan yang dialami korban perlu ditinjau kasus per kasus. Karena itu, kesadaran masyarakat terutama penegak hukum untuk kasus TPKS perlu ditingkatkan.

“Untuk itu perlu sekali bagi para institusi kementerian lembaga mengupayakan meningkatkan porsi peningkatan kapasitas bagi para petugasnya, baik aparat penegak hukum ataupun penyedia layanan. Tidak hanya UPTD-PPA (unit perlindungan perempuan dan anak di bawah Kemen-PPA), tapi juga penyedia layanan yang terdekat dengan korban,” kata Dian.

Selain itu, Dian berpendapat perlu dibuat aturan yang jelas mengenai pelaksanaan UU TPKS. Beberapa lembaga penegak hukum sudah memiliki aturan semacam itu, ujarnya, tetapi perlu dipastikan bahwa mereka benar-benar dilaksanakan sampai ke level daerah.

“Jadi sebenarnya peraturan-peraturan internal institusi itu ada cuma bagaimana monitoring memastikan peraturan tersebut tidak hanya sebatas lembar kertas, tapi benar-benar dilaksanakan dan ada mekanisme kontrol atau pengawasan di tingkat mereka.

“Ini sebenarnya untuk memastikan supaya tidak ada pelaku-pelaku kekerasan seksual yang bebas, tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya,” Dian menjelaskan.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved