Jumat, 3 Oktober 2025

Kasus pemerkosaan anak di Sumbar: Ibu korban berharap keadilan setelah hakim vonis bebas terdakwa

RH mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) karena majelis hakim di Pengadilan Negeri Lubuk Basung menjatuhkan vonis bebas kepada…

BBC Indonesia
Kasus pemerkosaan anak di Sumbar: Ibu korban berharap keadilan setelah hakim vonis bebas terdakwa 

Peringatan: Beberapa detail dalam artikel ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi Anda

Seorang ibu di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, masih berharap mendapatkan keadilan setelah hakim membebaskan terduga pelaku pemerkosaan terhadap putrinya; si pelaku merupakan ayah kandung anak tersebut.

Perempuan berinisial RH itu mengajukan banding karena majelis hakim di Pengadilan Negeri Lubuk Basung menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa, padahal jaksa menuntut hukuman 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp5 miliar.

“Saya ingin keadilan yang seadil-adilnya untuk anak saya,” kata RH dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.

Meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang memudahkan pembuktian untuk kasus kekerasan seksual telah disahkan, masih banyak kasus yang mengalami hambatan keadilan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sejauh ini ada lebih dari 200 kasus seperti itu pada tahun 2023.

KPAI mengatakan telah menerima laporan dari ibu RH, dan saat ini sedang melakukan telaah terhadap vonis tersebut.

Kesusahan RH mendapat perhatian dari masyarakat luas setelah video curahan hatinya di TikTok menjadi viral. Dalam video tersebut, sambil terisak, RH mempertanyakan nurani hakim yang membebaskan terdakwa pelaku kekerasan seksual terhadap anaknya.

Padahal menurut RH, terdakwa diduga mencabuli anak pertamanya – yang juga anak kandung terdakwa – sejak anak itu duduk di bangku TK sampai kelas 4 SD. Bahkan korban sampai terkena penyakit kelamin akibat perbuatan terdakwa, ujarnya.

“Ada apa dengan bapak hakim? Ke mana hati nurani Anda, Pak? Bapak hakim rela membebaskan dia yang bersalah. Di mana hati nurani Anda, Pak?,” kata RH dalam video yang telah ditonton ribuan orang.

RH juga mengungkap bahwa dia mendapatkan banyak intimidasi selama memperjuangkan kasus ini. Namun itu tidak menyurutkan niatnya.

“Saya rela dipindahkan bekerja. Saya rela mendapatkan penekanan dari pekerjaan saya, dari sebuah petinggi di Kabupaten Agam. Saya rela menjalaninya dengan satu tujuan akhir anak saya mendapatkan keadilan,” ujarnya.

Perjuangan RH mencari keadilan

Kepada BBC News Indonesia, RH menceritakan bagaimana dia mengetahui anak sulungnya menjadi korban pelecehan seksual.

Kejadian ini berawal pada liburan sekolah sebelum bulan puasa pada tahun 2022, ungkapnya.

RH menuturkan kedua anaknya sempat dibawa oleh terdakwa, yang merupakan ayah mereka dan mantan suami RH, ke rumah orang tua terdakwa selama sepekan. RH berkata dia berusaha memulangkan mereka namun pada akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak memiliki hak asuh anak.

Sepulangnya dari rumah orang tua terdakwa, anak bungsu RH yang baru menginjak bangku SD dengan polosnya bercerita bahwa sang ayah menyuruh anak-anak itu masuk ke kamar dan kemudian dia bersetubuh dengan istri barunya di depan kedua anak kandungnya itu, kata RH.

Sang kakak sempat mengatakan kepada adiknya bahwa hal tersebut tidak boleh diceritakan kepada ibu kandung mereka, kata RH menirukan pengakuan sang anak. Setelah dibujuk, akhirnya dia bersedia menceritakan kejadian tersebut.

Mendengar cerita dari anak-anaknya, RH segera berkonsultasi dengan berbagai pihak terkait hal yang mereka alami.

"Salah seorang pengacara mengatakan bahwa hal ini bisa dilaporkan kepada pihak yang berwajib dan pada 28 April 2022 saya melaporkan kejadian itu ke Polda Sumbar," ujarnya kepada wartawan Halbert Chaniago di Sumbar, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Dalam pemeriksaan di Polda itulah korban, anak sulung RH, mengungkap pemerkosaan yang dilakukan sang ayah kepadanya.

“Dia menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh ayah dengan ibu tirinya juga pernah dilakukan kepada dia," kata RH.

Karena adanya pengakuan tersebut, korban dibawa ke RSUP M Djamil untuk dilakukan visum. “Sebelum dokter menyampaikan hasil visum tersebut, anak saya pingsan dan saya juga ikut pingsan," kata RH.

Belakangan, RH mengetahui bahwa hasil visum menunjukkan vagina sang anak sudah lama mendapat trauma akibat benda tumpul. Dokter juga mengatakan sang anak menderita penyakit menular seksual dan harus segera diobati.

"Karena hal tersebut, saya meminta dokter tersebut mengobati anak saya agar dia bisa kembali sembuh. Saya juga melakukan pemeriksaan, karena anak saya ini tertularnya dari mantan suami saya," katanya.

Setelah beberapa bulan berlalu, kasus RH akhirnya sampai ke meja hijau. Kasus ini terdaftar di PN Lubuk Basung dengan nomor perkara 36/Pid.Sus/2023/PN Lbb.

Jaksa penuntut umum menjerat terdakwa dengan undang-undang perlindungan anak, menuntut hukuman penjara 15 tahun dan denda sebesar Rp5 miliar. Selama persidangan, dihadirkan 20 orang saksi – termasuk psikolog dan saksi anak.

Akan tetapi pada 26 Juli 2023, majelis hakim yang terdiri dari Hakim Ketua Wahyu Agung Muliawan serta Hakim Anggota Yoshito Siburian dan Adam Malik menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa.

“Menyatakan terdakwa BUDI SATRIA ALIAS BUDI tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tunggal Penuntut Umum,” demikian bunyi putusan hakim sebagaimana dicantumkan dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Lubuk Basung.

RH merasa kecewa dengan putusan tersebut karena menurutnya hakim tidak mempertimbangkan kesaksian dari anak-anaknya. RH juga berkata terdakwa berusaha menggambarkannya sebagai perempuan yang berusaha membalas dendam karena cemburu.

“Malahan di pledoi, saya baca di putusan, itu semuanya intervensi dari saya. Saya yang berusaha untuk mengajarkan anak berbohong, karena dendam saya sama ayahnya – karena ayahnya menceraikan saya, saya nggak mau. Dan ayahnya dapat istri baru, jadi saya cemburu,” kata RH.

BBC tidak dapat mengonfirmasi isi putusan karena dokumennya belum tersedia untuk publik di Direktori Putusan Mahkamah Agung.

Selain itu RH juga mengklaim mendapat intimidasi dari berbagai pihak selama persidangan – termasuk dari kenalan terdakwa.

Kepada BBC News Indonesia, RH berkata bahwa dia masih mengusahakan keadilan untuk anaknya. Dia mengatakan telah bersurat secara pribadi kepada Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial; serta meminta bantuan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Diwawancara secara terpisah, penasehat hukum terdakwa Budi Satria, Guntur Abdurrahman, menyatakan bahwa vonis yang disampaikan oleh majelis hakim sudah sesuai dengan fakta persidangan.

"Kenapa divonis bebas? karena ini memang tidak terbukti. Ini memang merupakan hal yang kami advokasi dari awal ketika saya menerima perkara ini. Sebelumnya kami juga sudah mengumpulkan berbagai informasi dengan bukti-bukti yang ada," katanya kepada Halbert Chaniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Dia mengatakan, tuduhan yang dilayangkan kepada kliennya adalah sebuah rekayasa yang dibuat oleh pelapor.

Adapun perihal klaim intimidasi yang dilontarkan oleh RH, Guntur menyebut itu sebagai tuduhan “gila” dan “tidak berdasar”.

"Bagaimana bisa dia melakukan intimidasi dan pengancaman, sementara terdakwa ini setiap selesai sidang langsung dibawa ke dalam sel," katanya.

Jaksa ajukan kasasi

Karena adanya vonis bebas dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Basung, Jaksa Penuntut Umum (JPU) langsung menyatakan untuk kasasi.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Seksi (Kasi) Penerangan Hukum (Penkum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat, Farouk saat dihubungi pada Rabu 16 Agustus 2023.

"Sudah dinyatakan kasasi sejak tanggal 1 Agustus 2023 lalu dan sudah kami kirim ke Mahkamah Agung," katanya.

Dia mengatakan, alasan JPU langsung melakukan kasasi adalah vonis bebas dari Majelis Hakim, sementara tuntutannya adalah penjara selama 15 tahun dan denda uang sebesar Rp5 miliar.

"Setelah ini kita tinggal menunggu hasil vonis kasasinya saja dari Mahkamah Agung, untuk kapan akan dikeluarkan itu wewenang dari Mahkamah Agungnya," katanya kepada Halbert Chaniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

KPAI respons laporan kekerasan seksual di Lubuk Basung

Komisioner KPAI Dian Sasmita mengatakan lembaganya telah menerima laporan kekerasan seksual di Lubuk Basung, Kabupaten Agam, dan telah merespons kepada dinas terkait namun belum mendapat jawaban. Salah satu yang ingin dilihat KPAI adalah sejauh mana pemenuhan hak pada korban.

“Tapi sampai detik ini kami juga belum mendapatkan respons di daerah,” kata Dian kepada BBC News Indonesia, Rabu (16/08).

“Dengan informasi [menyatakan bahwa] pelaku bebas, ini semakin mendorong kami harus menggunakan cara-cara yang cepat untuk merespon kasus ini. Bukan merespon secara memberikan layanan secara langsung, karena itu bukan tupoksi kami, tapi merespon pengawasan secara lebih responsif,” dia menambahkan.

Dian menekankan kekerasan berbasis gender perlu disikapi dengan sangat serius karena ini menjadi akar banyak permasalahan dan kekerasan.

Untuk kasus di Kabupaten Agam, imbuhnya, KPAI tidak akan sebatas merespons kasus tapi juga merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan layanan supaya lebih dekat dengan korban.

“Kemudian memastikan juga ada proses-proses edukasi kepada masyarakat terkait kekerasan seksual ini sehingga masyarakat juga punya andil untuk melakukan pencegahan di lingkungan terdekat mereka dan juga melindungi anak-anak juga ... Jadi banyak pihak yang bisa kita libatkan terkait dengan kasus yang kita target untuk kasus di Agam ini,” kata Dian.

Mengapa terdakwa kekerasan seksual terhadap anak masih lolos dari hukuman?

Pakar hukum dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, mengatakan banyak terdakwa kekerasan seksual terhadap anak akhirnya divonis bebas atau kasusnya berhenti di penyidikan karena kegagalan pembuktian.

Itu alasan yang paling mungkin, dia berargumen, karena kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan ekstrem yang dari segi hukum dan moralitas sudah jelas.

“Ya kan memang kasus perkosaan dan selalu begitu ya. Persoalannya adalah alat buktinya... barangkali hanya keterangan korban lah yang bisa menjelaskan. Manakala korban tidak berhasil meyakinkan hakim ya itulah yang kemudian bisa terjadi,” dia menjelaskan kepada BBC News Indonesia.

Agustinus juga mengatakan bahwa hukum di Indonesia sejak dahulu “ada masalah” dengan saksi anak di bawah umur. Dia menjelaskan, supaya kesaksian anak bisa diterima sebagai barang bukti, perlu bantuan psikolog untuk meyakinkan hakim bahwa keterangan si anak dapat diterima sebagai suatu kejujuran.

“Nah jangan-jangan kita punya masalah nih di sini. Psikolognya ada atau tidak, kapabel atau tidak, bisa atau tidak membuktikan di peradilan ... di Jakarta, mungkin kita semua tersedia ya, Jakarta punya LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Cuma yang nggak di Jakarta bagaimana nih?”

Kasus serupa dengan yang di Lubuk Basung pernah terjadi tahun lalu di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ketika Polda menghentikan penyelidikan kasus dugaan pencabulan terhadap anak oleh ayah kandungnya karena “tidak cukup bukti”.

Komisioner KPAI Dian Sasmita mengatakan lembaganya menerima banyak laporan terkait kekerasan seksual yang mengalami hambatan keadilan. Hambatan keadilan itu ada di 2 level —hambatan keadilan di proses hukumnya - mulai dari penyidikan, penuntutan - kemudian hambatan terkait akses pada layanan pemulihan, layanan pendampingan, dan layanan lainnya.

Dari Januari hingga pertengahan Juli 2023, kata Dian, KPI menerima 236 laporan kasus kekerasan seksual yang mengalami hambatan keadilan – dengan jumlah pelaku atau teradu 212 orang.

“Nah kesemuanya ini ada hambatan keadilan di mana mayoritas adalah terkait dengan proses hukum, [terutama] pembuktian [seperti] kurang bukti, kemudian tersangka tidak ditangkap, tidak ditahan,” ungkapnya kepada BBC News Indonesia.

Dian menjelaskan, kehadiran UU TPKS sebenarnya mempermudah pembuktian kasus kekerasan seksual. Pasal 25, misalnya, mengatakan keterangan korban ditambah hasil visum sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Visum pun tidak dibatasi hanya secara fisik, tapi juga psikiatri.

Meski begitu, kata Dian, dimensi kekerasan seksual itu “sangat kompleks” dan ketidakadilan yang dialami korban perlu ditinjau kasus per kasus. Karena itu, kesadaran masyarakat terutama penegak hukum untuk kasus TPKS perlu ditingkatkan.

“Untuk itu perlu sekali bagi para institusi kementerian lembaga mengupayakan meningkatkan porsi peningkatan kapasitas bagi para petugasnya, baik aparat penegak hukum ataupun penyedia layanan. Tidak hanya UPTD-PPA (unit perlindungan perempuan dan anak di bawah Kemen-PPA), tapi juga penyedia layanan yang terdekat dengan korban,” kata Dian.

Selain itu, Dian berpendapat perlu dibuat aturan yang jelas mengenai pelaksanaan UU TPKS. Beberapa lembaga penegak hukum sudah memiliki aturan semacam itu, ujarnya, tetapi perlu dipastikan bahwa mereka benar-benar dilaksanakan sampai ke level daerah.

“Jadi sebenarnya peraturan-peraturan internal institusi itu ada cuma bagaimana monitoring memastikan peraturan tersebut tidak hanya sebatas lembar kertas, tapi benar-benar dilaksanakan dan ada mekanisme kontrol atau pengawasan di tingkat mereka.

“Ini sebenarnya untuk memastikan supaya tidak ada pelaku-pelaku kekerasan seksual yang bebas, tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya,” Dian menjelaskan.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved