Aung San Suu Kyi Divonis 5 Tahun Oleh Pengadilan Junta Myanmar, Berikut Sepak Terjang 'The Lady'
Suu Kyi telah berada di bawah tahanan rumah sejak Februari 2021 ketika kudeta militer menggulingkan pemerintah terpilihnya.
Bolak-balik “di bui”
Melawan “tangan besi” pemimpin militer saat itu, Suu Kyi mengatur siasat meniru pejuang demokrasi terdahulu.
Kampanye tanpa kekerasan yang dipopulerkan pemimpin hak-hak sipil AS Martin Luther King dan Mahatma Gandhi dari India jadi inspirasinya.
Dia mengorganisir aksi unjuk rasa dan melakukan perjalanan ke seluruh negeri.
Misinya menyerukan reformasi demokrasi yang damai dan pemilihan umum yang bebas. Namun demonstrasi tersebut ditindas secara brutal oleh tentara, yang merebut kekuasaan dalam kudeta pada 18 September 1988.
Suu Kyi ditempatkan di bawah tahanan rumah pada tahun berikutnya. Pemerintah militer mengadakan pemilihan nasional pada Mei 1990, yang dimenangkan NLD Suu Kyi secara meyakinkan.
Tetapi junta menolak untuk menyerahkan kendali. Suu Kyi tetap menjadi tahanan rumah di Yangon selama enam tahun, sampai Juli 1995.
Dia kembali dikenakan tahanan rumah pada September 2000, ketika mencoba melakukan perjalanan ke kota Mandalay yang melanggar larangan perjalanan.
Setelah sempat dibebaskan tanpa syarat pada Mei 2002, militer kembali menahannya satu tahun kemudian.
Kali ini karena bentrokan antara pendukungnya dan massa yang didukung pemerintah. Dia kemudian diizinkan untuk kembali ke rumah.
Tetapi sekali lagi di bawah tahanan rumah yang efektif. Kadang-kadang dia bisa bertemu dengan pejabat NLD lainnya dan diplomat terpilih.
Namun selama tahun-tahun awal, dia sering berada di sel isolasi. Militer bahkan melarangnya menemui kedua putranya atau suaminya, yang meninggal karena kanker pada Maret 1999.
Otoritas militer telah menawarkan untuk mengizinkannya melakukan perjalanan ke Inggris untuk menemui sang suami yang sakit parah.
Tapi Suu Kyi merasa harus menolak karena takut tidak lagi diizinkan kembali negara itu.
Kontroversi
Suu Kyi “diasingkan” dari pemilihan pertama Myanmar dalam dua dekade pada 7 November 2010, tetapi dibebaskan dari tahanan rumah enam hari kemudian.
Putranya Kim diizinkan mengunjunginya untuk pertama kalinya dalam satu dekade. Isolasi itu seolah jadi perjuangan pribadinya untuk membawa demokrasi ke Burma.
Komunitas internasional pun mengakuinya sebagai simbol “perlawanan damai” dalam menghadapi penindasan. Meski menang telak pada 2015, tidak bisa mencalonkan diri sebagai presiden.
Konstitusi Myanmar melarangnya menjadi presiden karena memiliki anak yang berkewarganegaraan asing.
Tapi Suu Kyi, secara luas dipandang sebagai pemimpin “de facto”. Secara resmi dia memiliki gelar sebagai penasihat negara.
Sementara jabatan Presiden Myanmar dipegang oleh Win Myint, pembantu dekatnya, yang menjabat hingga kudeta 2021.
Ketika pemerintahan baru memulai proses reformasi, Suu Kyi dan partainya kembali bergabung dalam proses politik.
Mereka memenangkan 43 dari 45 kursi yang diperebutkan pada pemilihan sela April 2012. Suu Kyi dilantik sebagai anggota parlemen dan pemimpin oposisi.
Namun sejak menjadi penasihat negara Myanmar, pandangan dunia berbalik terhadapnya.
Semua dibuat terperangah dengan pembiaran atas kekerasan pada kelompok minoritas Rohingya yang sebagian besar Muslim di negara itu.
Pada 2017, ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.
Gelombang pencari suaka ini terjadi karena tindakan keras militer yang dipicu oleh serangan mematikan di kantor polisi di negara bagian Rakhine.
Myanmar sekarang menghadapi tuntutan hukum yang menuduhnya melakukan genosida di Pengadilan Internasional (ICJ). Pengadilan Kriminal Internasional sedang menyelidiki negara tersebut atas kejahatan terhadap kemanusiaan.
Suu Kyi dituding tidak melakukan apa pun untuk menghentikan pemerkosaan, pembunuhan, dan kemungkinan genosida.
Pasalnya dia menolak mengutuk atau mengakui laporan kekejaman kelompok militer yang masih kuat di negara itu.
Awalnya sejumlah orang melihatnya sebagai politikus pragmatis, yang mencoba memerintah negara multi-etnis dengan sejarah yang kompleks.
Dalam wawancara dengan BBC, dia dinilai “meremehkan” konflik Rohingnya. Setelah itu pembelaan pribadinya atas tindakan tentara dalam sidang ICJ di Den Haag, kian memperbutuk reputasi di mata internasional.
Dalam sidang tersebut penasihat negara Myanmar itu menepis tuduhan atas pemerintahnya terhadap etnis Rohingnya sebagai "gambaran faktual yang tidak lengkap dan menyesatkan".
Kekerasan itu dipicu oleh serangan teroris dari Arakan Rohingya Salvation Army (Arsa), katanya mengutip Guardian. Sejumlah pihak menuntut agar Nobel Perdamaian yang dihadiahkan kepadanya dicabut. (BBC/Kompas.com)