Jumat, 3 Oktober 2025

Aung San Suu Kyi Divonis 5 Tahun Oleh Pengadilan Junta Myanmar, Berikut Sepak Terjang 'The Lady'

Suu Kyi telah berada di bawah tahanan rumah sejak Februari 2021 ketika kudeta militer menggulingkan pemerintah terpilihnya.

Editor: Hendra Gunawan
Stan HONDA / AFP
Dalam file foto yang diambil pada 22 September 2012, anggota parlemen Myanmar Aung San Suu Kyi menghadiri sebuah acara di Perpustakaan Low Memorial di Universitas Columbia di New York. 

TRIBUNNEWS.COM -- Pengadilan di Myanmar yang dikuasai militer telah memutuskan mantan pemimpin Aung San Suu Kyi bersalah atas korupsi, putusan terbaru dalam serangkaian persidangan rahasia.

Suu Kyi telah berada di bawah tahanan rumah sejak Februari 2021 ketika kudeta militer menggulingkan pemerintah terpilihnya.

Peraih Nobel berusia 76 tahun itu telah didakwa dengan serangkaian pelanggaran kriminal termasuk penipuan pemilih.

Dia menyangkal semua tuduhan dan kelompok hak asasi telah mengutuk persidangan pengadilan sebagai palsu.

Dikutip dari BBC, sidang tertutup di ibu kota Nay Pyi Taw telah ditutup untuk umum dan media, dan pengacara Suu Kyi dilarang berbicara kepada wartawan.

Baca juga: Aung San Suu Kyi Kembali ke Pengadilan Junta Setelah Karantina Covid-19

Pada hari Rabu, pengadilan junta memutuskan dia bersalah karena menerima suap $600.000 (£477.000) dalam bentuk uang tunai dan emas batangan dari mantan kepala Yangon, kota dan wilayah terbesar Myanmar.

Dia divonis lima tahun penjara. Pengacara mengatakan kepada BBC bahwa mereka belum bisa bertemu dengannya.

Foto ini diambil pada 17 Juli 2019, memperlihatkan Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menghadiri upacara pembukaan Pusat Inovasi Yangon di Yangon.
Foto ini diambil pada 17 Juli 2019, memperlihatkan Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menghadiri upacara pembukaan Pusat Inovasi Yangon di Yangon. (STR / AFP)

Keyakinan terbaru membuat total hukuman penjara menjadi 11 tahun, karena dia sebelumnya dinyatakan bersalah atas pelanggaran lainnya.

Pada bulan Desember, dia dihukum karena menghasut perbedaan pendapat terhadap militer dan melanggar aturan kesehatan masyarakat Covid. Pada bulan Januari dia juga dinyatakan bersalah memiliki radio walkie-talkie selundupan di rumahnya dan melanggar lebih banyak aturan Covid.

Suu Kyi masih menghadapi 10 dakwaan korupsi lainnya, masing-masing diancam hukuman maksimal 15 tahun, serta dakwaan penipuan pemilu dan pelanggaran undang-undang rahasia resmi.

Pendukungnya mengatakan tuduhan itu dibuat-buat oleh rezim junta untuk memastikan Suu Kyi, yang tetap sangat dihormati di Myanmar sebagai ikon demokrasi, dipenjara seumur hidup.

Baca juga: Junta Myanmar Ajukan 5 Tuduhan Korupsi Baru Terhadap Aung San Suu Kyi

Jika dinyatakan bersalah atas semua tuduhannya, dia akan menghadapi hukuman penjara total lebih dari 190 tahun, menurut beberapa perkiraan.

Kelompok hak-hak sipil dan demokrasi, serta PBB, telah mengecam proses hukum sebagai lelucon. Human Rights Watch menyebutnya sebagai "sirkus ruang sidang dari proses rahasia atas tuduhan palsu".

Rezim militer Myanmar telah menolak tuduhan tersebut, mengatakan Suu Kyi telah menerima pengadilan yang adil dan proses hukum sejauh ini.

Perebutan kekuasaan dengan kekerasan oleh militer Februari lalu di Myanmar, juga dikenal sebagai Burma, terjadi beberapa bulan setelah Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi memenangkan pemilihan umum dengan telak.

Militer menuduh kecurangan pemilih dalam kemenangan tersebut, namun pengamat pemilihan independen mengatakan pemilihan itu sebagian besar bebas dan adil.

Kudeta itu memicu demonstrasi yang meluas, mendorong militer Myanmar untuk menindak pengunjuk rasa, aktivis, dan jurnalis pro-demokrasi.

Baca juga: Rekam Jejak Karier Politik Aung San Suu Kyi hingga Kini Dijatuhi Tambahan Hukuman 4 Tahun Penjara

Suu Kyi - dan banyak anggota partainya - termasuk di antara lebih dari 10.000 orang yang telah ditangkap oleh junta sejak mereka merebut kekuasaan.

Hampir 1.800 orang tewas dalam tindakan keras militer terhadap perbedaan pendapat, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (Burma).

Kekacauan juga menyebabkan pertempuran terus berlanjut. Junta militer menghadapi oposisi yang meluas dan beberapa bagian negara itu sekarang dilanda konflik bersenjata.

Sepak Terjang "The Lady"

Wanita yang kerap disapa “The Lady” oleh rakyat Myanmar ini awalnya dikenal dunia karena berani menentang pemerintahan junta yang berkuasa setengah abad lamanya di Myanmar.

Lebih dari satu dekade, dia menyerahkan kebebasannya untuk menantang para jenderal militer yang kejam yang sebelumnya memerintah Myanmar.

Dunia sempat melihatnya sebagai salah satu suar penegak hak asasi manusia.

Sampai pada 1991, Suu Kyi dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian meski masih dalam tahanan rumah.

Namanya saat itu dielu-elukan sebagai "contoh luar biasa dari kekuatan orang yang tidak berdaya".

Baca juga: Rekam Jejak Karier Politik Aung San Suu Kyi hingga Kini Dijatuhi Tambahan Hukuman 4 Tahun Penjara

Sampai pada 2015 konfrontasi terhadap pemerintah otoriter di Burma mulai membuahkan hasil.
Lewat partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dia pimpin, tampuk kekuasaan di negara itu akhirnya berhasil dijajaki.

Partai itu memenangkan pemilu pertama yang diperebutkan secara terbuka di Myanmar dalam 25 tahun.

Ironisnya, duduk di jajaran pemimpin tidak membuat namanya kian harum.

Dunia justru mempertanyakan komitmen penegakan hak asasi manusia yang selama ini dia usung setelah konflik minoritas di Myanmar menimbulkan gelombang pengungsi keluar dari negara Asia Tenggara itu.

Suu Kyi dituding menutup mata terhadap krisis yang menimpa minoritas Rohingya yang sebagian besar Muslim di Myanmar.

Sementara di dalam negeri, “The Lady“ tetap sangat populer di kalangan mayoritas Buddha di negara itu.

Awal Februari 2021, Wanita berusia 75 tahun ini kembali menjadi tawanan setelah kudeta kembali dilakukan kelompok militer.

Putri seorang pejuang

Figur Suu Kyi yang kerap disapa “The Lady” sangat populer dalam masyarakat Myanmar. Dia menghabiskan hampir 15 tahun dalam penahanan antara 1989-2010.

Ayahnya adalah seorang pahlawan kemerdekaan Myanmar, Jenderal Aung San.

Tepat sebelum Myanmar memperoleh kemerdekaan dari penjajahan Inggris pada 1948, Sang Jenderal dibunuh.

Suu Kyi masih berusia dua tahun ketika itu. Sang ibu, Daw Khin Kyi, membawa dia ke India pada 1960 setelah ditunjuk sebagai duta besar Myanmar di Delhi.

Empat tahun kemudian dia pergi ke Universitas Oxford di Inggris untuk belajar filsafat, politik dan ekonomi.

Di sanalah dia bertemu dengan calon suaminya, akademisi Michael Aris. Setelah tinggal dan bekerja di Jepang dan Bhutan, Suu Kyi menetap di Inggris untuk membesarkan kedua anak mereka, Alexander dan Kim.

Meski begitu Myanmar tidak pernah jauh dari pikirannya. Suu Kyi akhirnya kembali di Yangon pada 1988 untuk merawat ibunya yang sakit kritis.

Di waktu yang sama, Myanmar berada di tengah pergolakan politik besar.

Ribuan siswa, pekerja kantor dan biksu turun ke jalan menuntut reformasi demokrasi.

Militer yang dipimpin oleh U Ne Win, menanggapi aksi itu secara brutal dan melakukan pembantaian massal kepada para pengunjuk rasa.

Dalam pidatonya di Yangon pada 26 Agustus 1988, Suu Kyi menyatakan sebagai anak dari seorang pejuang kemerdekaan dia tidak dapat berdiam diri melihat kondisi itu. Dia kemudian memimpin pemberontakan melawan diktator saat itu, Jenderal Ne Win.

Bolak-balik “di bui”

Melawan “tangan besi” pemimpin militer saat itu, Suu Kyi mengatur siasat meniru pejuang demokrasi terdahulu.

Kampanye tanpa kekerasan yang dipopulerkan pemimpin hak-hak sipil AS Martin Luther King dan Mahatma Gandhi dari India jadi inspirasinya.

Dia mengorganisir aksi unjuk rasa dan melakukan perjalanan ke seluruh negeri.

Misinya menyerukan reformasi demokrasi yang damai dan pemilihan umum yang bebas. Namun demonstrasi tersebut ditindas secara brutal oleh tentara, yang merebut kekuasaan dalam kudeta pada 18 September 1988.

Suu Kyi ditempatkan di bawah tahanan rumah pada tahun berikutnya. Pemerintah militer mengadakan pemilihan nasional pada Mei 1990, yang dimenangkan NLD Suu Kyi secara meyakinkan.

Tetapi junta menolak untuk menyerahkan kendali. Suu Kyi tetap menjadi tahanan rumah di Yangon selama enam tahun, sampai Juli 1995.

Dia kembali dikenakan tahanan rumah pada September 2000, ketika mencoba melakukan perjalanan ke kota Mandalay yang melanggar larangan perjalanan.

Setelah sempat dibebaskan tanpa syarat pada Mei 2002, militer kembali menahannya satu tahun kemudian.

Kali ini karena bentrokan antara pendukungnya dan massa yang didukung pemerintah. Dia kemudian diizinkan untuk kembali ke rumah.

Tetapi sekali lagi di bawah tahanan rumah yang efektif. Kadang-kadang dia bisa bertemu dengan pejabat NLD lainnya dan diplomat terpilih.

Namun selama tahun-tahun awal, dia sering berada di sel isolasi. Militer bahkan melarangnya menemui kedua putranya atau suaminya, yang meninggal karena kanker pada Maret 1999.
Otoritas militer telah menawarkan untuk mengizinkannya melakukan perjalanan ke Inggris untuk menemui sang suami yang sakit parah.

Tapi Suu Kyi merasa harus menolak karena takut tidak lagi diizinkan kembali negara itu.

Kontroversi

Suu Kyi “diasingkan” dari pemilihan pertama Myanmar dalam dua dekade pada 7 November 2010, tetapi dibebaskan dari tahanan rumah enam hari kemudian.

Putranya Kim diizinkan mengunjunginya untuk pertama kalinya dalam satu dekade. Isolasi itu seolah jadi perjuangan pribadinya untuk membawa demokrasi ke Burma.

Komunitas internasional pun mengakuinya sebagai simbol “perlawanan damai” dalam menghadapi penindasan. Meski menang telak pada 2015, tidak bisa mencalonkan diri sebagai presiden.

Konstitusi Myanmar melarangnya menjadi presiden karena memiliki anak yang berkewarganegaraan asing.

Tapi Suu Kyi, secara luas dipandang sebagai pemimpin “de facto”. Secara resmi dia memiliki gelar sebagai penasihat negara.

Sementara jabatan Presiden Myanmar dipegang oleh Win Myint, pembantu dekatnya, yang menjabat hingga kudeta 2021.

Ketika pemerintahan baru memulai proses reformasi, Suu Kyi dan partainya kembali bergabung dalam proses politik.

Mereka memenangkan 43 dari 45 kursi yang diperebutkan pada pemilihan sela April 2012. Suu Kyi dilantik sebagai anggota parlemen dan pemimpin oposisi.

Namun sejak menjadi penasihat negara Myanmar, pandangan dunia berbalik terhadapnya.
Semua dibuat terperangah dengan pembiaran atas kekerasan pada kelompok minoritas Rohingya yang sebagian besar Muslim di negara itu.

Pada 2017, ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.
Gelombang pencari suaka ini terjadi karena tindakan keras militer yang dipicu oleh serangan mematikan di kantor polisi di negara bagian Rakhine.

Myanmar sekarang menghadapi tuntutan hukum yang menuduhnya melakukan genosida di Pengadilan Internasional (ICJ). Pengadilan Kriminal Internasional sedang menyelidiki negara tersebut atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

Suu Kyi dituding tidak melakukan apa pun untuk menghentikan pemerkosaan, pembunuhan, dan kemungkinan genosida.

Pasalnya dia menolak mengutuk atau mengakui laporan kekejaman kelompok militer yang masih kuat di negara itu.

Awalnya sejumlah orang melihatnya sebagai politikus pragmatis, yang mencoba memerintah negara multi-etnis dengan sejarah yang kompleks.

Dalam wawancara dengan BBC, dia dinilai “meremehkan” konflik Rohingnya. Setelah itu pembelaan pribadinya atas tindakan tentara dalam sidang ICJ di Den Haag, kian memperbutuk reputasi di mata internasional.

Dalam sidang tersebut penasihat negara Myanmar itu menepis tuduhan atas pemerintahnya terhadap etnis Rohingnya sebagai "gambaran faktual yang tidak lengkap dan menyesatkan".
Kekerasan itu dipicu oleh serangan teroris dari Arakan Rohingya Salvation Army (Arsa), katanya mengutip Guardian. Sejumlah pihak menuntut agar Nobel Perdamaian yang dihadiahkan kepadanya dicabut. (BBC/Kompas.com)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved