Aung San Suu Kyi Divonis 5 Tahun Oleh Pengadilan Junta Myanmar, Berikut Sepak Terjang 'The Lady'
Suu Kyi telah berada di bawah tahanan rumah sejak Februari 2021 ketika kudeta militer menggulingkan pemerintah terpilihnya.
Militer menuduh kecurangan pemilih dalam kemenangan tersebut, namun pengamat pemilihan independen mengatakan pemilihan itu sebagian besar bebas dan adil.
Kudeta itu memicu demonstrasi yang meluas, mendorong militer Myanmar untuk menindak pengunjuk rasa, aktivis, dan jurnalis pro-demokrasi.
Baca juga: Rekam Jejak Karier Politik Aung San Suu Kyi hingga Kini Dijatuhi Tambahan Hukuman 4 Tahun Penjara
Suu Kyi - dan banyak anggota partainya - termasuk di antara lebih dari 10.000 orang yang telah ditangkap oleh junta sejak mereka merebut kekuasaan.
Hampir 1.800 orang tewas dalam tindakan keras militer terhadap perbedaan pendapat, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (Burma).
Kekacauan juga menyebabkan pertempuran terus berlanjut. Junta militer menghadapi oposisi yang meluas dan beberapa bagian negara itu sekarang dilanda konflik bersenjata.
Sepak Terjang "The Lady"
Wanita yang kerap disapa “The Lady” oleh rakyat Myanmar ini awalnya dikenal dunia karena berani menentang pemerintahan junta yang berkuasa setengah abad lamanya di Myanmar.
Lebih dari satu dekade, dia menyerahkan kebebasannya untuk menantang para jenderal militer yang kejam yang sebelumnya memerintah Myanmar.
Dunia sempat melihatnya sebagai salah satu suar penegak hak asasi manusia.
Sampai pada 1991, Suu Kyi dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian meski masih dalam tahanan rumah.
Namanya saat itu dielu-elukan sebagai "contoh luar biasa dari kekuatan orang yang tidak berdaya".
Baca juga: Rekam Jejak Karier Politik Aung San Suu Kyi hingga Kini Dijatuhi Tambahan Hukuman 4 Tahun Penjara
Sampai pada 2015 konfrontasi terhadap pemerintah otoriter di Burma mulai membuahkan hasil.
Lewat partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dia pimpin, tampuk kekuasaan di negara itu akhirnya berhasil dijajaki.
Partai itu memenangkan pemilu pertama yang diperebutkan secara terbuka di Myanmar dalam 25 tahun.
Ironisnya, duduk di jajaran pemimpin tidak membuat namanya kian harum.
Dunia justru mempertanyakan komitmen penegakan hak asasi manusia yang selama ini dia usung setelah konflik minoritas di Myanmar menimbulkan gelombang pengungsi keluar dari negara Asia Tenggara itu.