Kamis, 2 Oktober 2025

Pilkada Serentak 2024

Tokoh Adat Kecewa Mahkamah Konstitusi Tidak Terima Gugatan Pilkada Sarmi Papua

keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara sepihak mempercepat jadwal pembacaan putusan dismissal sengketa Pilkada Sarmi.

Penulis: willy Widianto
Editor: Wahyu Aji
Istimewa/Kolase Tribunnews.com
PUTUSAN MK SOAL PILKADA - Tokoh adat Sarmi, Yakonias Wabrar(kanan). mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara sepihak mempercepat jadwal pembacaan putusan dismissal sengketa Pilkada Sarmi. Semula, MK menjadwalkan putusan pada 11 , 12 dan 13 Februari 2025, tetapi mendadak dimajukan menjadi 5,6 dan 7 Februari 2025. Sementara itu analis politik dan pemilu dari Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo(kiri), menilai bahwa kualitas demokrasi dan keadilan di Indonesia dapat meningkat jika diberikan waktu yang cukup bagi para pihak untuk mempersiapkan bukti dan argumen dalam sengketa pemilu.  

"Dalam sistem ini, putusan sengketa dapat ditinjau ulang jika ada bukti baru yang signifikan dan dapat mengubah hasil pemilu," kata Karyono.

Ketiga, perlu adanya mekanisme hukum lanjutan di MK, misalnya melalui pengajuan bukti tambahan dalam tenggat waktu khusus. MK dapat memberikan masa tenggang (grace period) bagi pemohon yang menemukan bukti baru setelah putusan dismissal. 

Selain itu, perlu dipertimbangkan mekanisme banding atau peninjauan kembali (PK) di MK. Diakui Karyono, saat ini, putusan MK bersifat final dan mengikat, tetapi dalam kasus tertentu seperti pemalsuan dokumen atau bukti baru yang substansial, seharusnya ada ruang untuk peninjauan kembali seperti dalam sistem peradilan umum.

Karyono selanjutnya mengkritik sistem speedy trial atau peradilan cepat yang diterapkan di MK dalam sengketa Pilkada. Speedy trial dapat mengarah pada keputusan yang terburu-buru tanpa pemeriksaan yang cermat dan mendalam.

Baca juga: Bawaslu Didesak Hukum Pelaku Kecurangan Pilkada Kabupaten Sarmi Papua

"Proses peradilan yang terburu-buru dapat mengorbankan keadilan substantif, di mana keputusan yang diambil bisa jadi tidak mencerminkan kebenaran yang terjadi di lapangan," demikian Karyono Wibowo.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved