Sabtu, 4 Oktober 2025

Guru Besar IPB: PP 45/2025 Picu Polemik Serius di Industri Sawit dan Masyarakat

PP No.45 Tahun 2025 merupakan revisi atas PP 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan PNBP. 

TRIBUNNEWS/Jeprima
KONTROVERSI PERATURAN PEMERINTAH - Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam jip di Perkebunan sawit di kawasan Bogor, Jawa Barat. Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025 dinilai memicu kontroversi di industri kelapa sawit dan masyarakat. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) bidang ahli Kebijakan, Tata Kelola Pertanahan, Ruang dan Sumber Daya Alam (SDA) Budi Mulyanto menyoroti dampak dari terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025.

PP No.45 Tahun 2025 merupakan revisi atas PP 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 

Budi Mulyanto mengatakan, PP terbaru tersebut memunculkan polemik serius di sektor perkebunan sawit karena membawa konsekuensi tambahan, mulai dari denda yang mencapai Rp25 juta per hektare per tahun hingga perluasan kewenangan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), yang menimbulkan kekhawatiran terkait kepastian hukum dan iklim investasi.

“Ada istilah penguasaan kembali, paksaan pemerintah, bahkan kewenangan untuk mencabut izin, memblokir rekening, sampai mencegah orang keluar negeri. Walaupun denda sudah dibayar, lahan tetap bisa diambil kembali. Ini yang membuat horor, pelaku industri sawit semakin stres,” ujar Budi saat dikonfirmasi wartawan, Jumat (3/10/2025).

Menurut perhitungan Budi, angka denda bisa 5–7 kali lipat lebih besar dibanding dengan aturan sanksi administrasi pada PP No 24 Tahun 2021.

“Besaran denda ini banyak dikomentari sebagai pembunuhan industri sawit. Bukan hanya menimbulkan ketakutan, tapi juga citra buruk investasi di Indonesia,” ujarnya.

Budi mengaku tidak mengerti darimana muncul hitungan Rp 25 juta per hektare per tahun. Menurut Budi, seharusnya besaran denda bisa dievaluasi dari nilai atas kinerja lahan tersebut.

“Itu kembali lagi pertanyaan besar kita. Nilai-nilai itu sebenarnya secara scientific sudah ada. Lahan misalnya lahan hutan dengan intensitas pohon segini dan seterusnya kan bisa dihitung. Tiba-tiba muncul angka 25 juta rupiah itu pertanyaan besar,” paparnya. 

Budi menekankan, akar persoalan sebenarnya bukan sekadar pada PP 45/2025, tetapi pada penetapan kawasan hutan yang sejak awal tidak mengikuti UU 41/1999 tentang Kehutanan.

Menurut UU Kehutanan, sebelum penunjukan kawasan hutan harus ada survei sosial, ekonomi, dan penguasaan tanah masyarakat.

Baca juga: Kepastian Status Lahan Kunci Agrinas Kelola 1,5 Juta Hektar Sawit

Namun, praktiknya penunjukan kawasan dilakukan tanpa survei menyeluruh. Akibatnya, tanah rakyat, desa, transmigrasi, hingga HGU lama ikut dimasukkan ke kawasan hutan.

“Ada 30 ribu desa, bahkan tanah transmigran yang sudah bersertifikat masuk kawasan hutan. Itu bukti penetapan kawasan dilakukan serampangan, tidak sesuai UU. Inilah akar persoalan yang membuat lahan sawit masyarakat dan perusahaan tiba-tiba dianggap melanggar,” jelasnya.

Budi juga menyoroti dampak aturan ini pada masyarakat luas. Selain perusahaan, tetapi masyarakat yang kebunnya masuk kawasan hutan juga bisa terkena denda. Padahal banyak tanah yang dikelola rakyat jauh sebelum ada penetapan kawasan hutan.

“Ini mengabaikan hak rakyat dan bertentangan dengan UU Pokok Agraria serta HAM,” tegasnya.

Bahkan, tanah program transmigrasi yang merupakan program resmi pemerintah bisa ikut terdampak. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa kawasan hutan ditetapkan tanpa prosedur yang benar. 

Baca juga: BUMN Agrinas Palma Didorong Lebih Profesional Kelola Perkebunan Sawit 

Budi berharap agar pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah fundamental dengan melakukan revisi peta kawasan hutan. 

Prosesnya harus berbasis survei partisipatif yang melibatkan masyarakat, pemerintah daerah, dan aparat hukum, sehingga batas kawasan hutan menjadi lebih legitimate.

Sejauh ini, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) telah menguasai kembali lahan ilegal seluas 3.312.022,75 hektare. Dari jumlah tersebut, 915.206,46 hektare sudah diserahkan kepada kementerian terkait.

Rinciannya, 833.413,46 hektare dialokasikan kepada PT Agrinas Palma Nusantara untuk pengelolaan produktif, sementara 81.793,00 hektare dikembalikan sebagai kawasan konservasi di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.

Sisanya, sebanyak 2.398.816,29 hektare masih dalam proses administrasi dan segera diserahkan kepada kementerian terkait. 

Ketua Pelaksana Satgas PKH, Febrie Adriansyah mengatakan, penertiban kawasan hutan tidak hanya berorientasi pada pidana, melainkan mengutamakan penguasaan kembali kawasan hutan oleh negara.

Menurut Febrie, para pelaku diwajibkan mengembalikan seluruh keuntungan yang diperoleh secara tidak sah kepada negara.

“Apabila ada pihak yang tidak kooperatif atau mencoba menghambat implementasi kebijakan ini, penyelesaian dapat ditingkatkan ke ranah penegakan hukum pidana, baik berdasarkan hukum administrasi, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, maupun Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” tegas Febrie yang juga Jampidsus Kejagung dalam situs resmi kejaksaan.

Langkah tegas ini diharapkan mendapat respons positif dari para pelaku usaha. Keberhasilan implementasi akan memperkuat posisi negara dalam mengelola sumber daya alam demi kepentingan rakyat. Sebaliknya, kegagalan akan berimplikasi pada penindakan hukum yang lebih keras.

 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved