Jumat, 3 Oktober 2025

Trump Terapkan Tarif Timbal Balik

Pengamat Sebut Tarif 19 Persen dari Trump Masih Tinggi, Seharusnya Bisa Lebih Rendah Lagi

Dalam merespons tekanan tarif dari Trump, beberapa negara justru mampu menunjukkan posisi tawar yang lebih kokoh.

Facebook The White House
TARIF IMPOR TRUMP - Presiden AS Donald Trump. iIa menurunkan tarif resiprokal atas produk Indonesia dari 32 menjadi 19 persen 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menurunkan tarif resiprokal atas produk Indonesia dari 32 menjadi 19 persen belum bisa dianggap keberhasilan negosiasi dan layak dirayakan sebagai pencapaian diplomatik. 

Pemerintahan Presiden Prabowo sebaiknya membuka ruang negosiasi sehingga tarif itu bisa diturunkan lagi.

Apalagi skema tarif itu dikuti dengan komitmen Indonesia membeli 50 jet Boeing dan produk energi AS senilai Rp244 triliun. 

Baca juga: AS Pangkas Tarif Impor Produk Indonesia Jadi 19 Persen, Pasar Bereaksi Positif

"Kita memberi terlalu banyak, sementara tarif 19 persen masih tergolong tinggi dan membebani pelaku ekspor kita. Harusnya negosiasi ulang. Jangan puas dengan angka 19 persen karena itu belum mengembalikan posisi kita seperti sebelum badai tarif diberlakukan," ujar pemerhati hubungan internasional dan investasi Zenzia Sianica Ihza, Kamis (17/7/2025).

Karena itu, Zenzia mendorong pemerintah untuk tetap melanjutkan negosiasi. Jangan cepat puas dengan penurunan tarif yang seolah menjadi hadiah, padahal beban terhadap ekspor nasional masih besar. 

Menurut dia, jika dihitung secara keseluruhan, produk Indonesia tetap dikenai beban tarif hampir 29 persen, karena tarif dasar 10 persen yang berlaku otomatis. 

"Jadi sebenarnya bukan hanya 19 persen, tapi 19 ditambah 10. Itu tetap tinggi dan tidak fair," katanya.

Bagi Zenzia, masalah ini bukan semata soal angka, tetapi lebih pada strategi negosiasi yang lemah. Ia menyebut Indonesia berada dalam posisi yang sebenarnya punya leverage kuat. 

Permintaan Trump agar Indonesia membeli 50 jet Boeing dan invetasi energi senilai US$15 miliar menunjukkan bahwa Washington juga membutuhkan Jakarta dalam konteks ekonomi dan geopolitik.

"Kalau kita setuju beli pesawat dan investasi energi, kenapa tidak meminta tarif turun ke angka yang lebih wajar, misalnya di bawah 10 persen? Negosiasi itu harus dua arah, bukan hanya menerima dikte," ujarnya.

Zenzia menyebut, dalam merespons tekanan tarif dari Trump, beberapa negara justru mampu menunjukkan posisi tawar yang lebih kokoh. 

China, misalnya, secara terbuka melakukan perlawanan dengan tarif balasan. Sementara Vietnam memilih jalan diplomasi yang akomodatif, tetapi tetap menjaga kepentingan domestiknya.

"Vietnam bisa menurunkan tensi sambil menjaga keuntungan, bahkan justru mereka mampu menarik relokasi industri dari China. Kita seharusnya belajar dari itu," lanjut Zenzia.

Kebijakan tarif Trump adalah lanjutan dari pendekatan ekonomi  "America First" yang diluncurkan sejak masa kampanye 2016. 

Di bawah semangat proteksionisme, Trump melihat tarif sebagai alat tawar utama untuk meraih kesepakatan dagang yang lebih menguntungkan bagi Amerika.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved