Benahi Tata Niaga Impor, Pemerintah Diminta Lindungi Industri Tekstil
Presiden Prabowo telah berkomitmen untuk mendorong perluasan investasi dan penciptaan lapangan kerja di sektor-sektor strategis.
Penulis:
Choirul Arifin
Editor:
Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sektor tekstil nasional saat ini berada dalam fase pemulihan setelah menghadapi tekanan berat akibat pandemi dan disrupsi global lainnya.
Di tengah upaya pemerintah dan pelaku usaha untuk mengembalikan daya saing industri ini, muncul fenomena yang memprihatinkan: lahirnya tekanan regulasi oleh kelompok-kelompok yang mengklaim mewakili industri, namun dinilai memperkeruh keadaan.
Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, menyebut fenomena ini cenderung menjadi upaya sistematis untuk memaksakan kehendak melalui desakan terhadap kebijakan publik, dengan membungkusnya dalam narasi yang seolah mewakili kepentingan nasional atau industri secara keseluruhan.
Baca juga: Pelaku Industri Tekstil Bersyukur, Pemerintah Batalkan Bea Masuk Anti-dumping
Salah satu yang dia soroti adalah desakan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) terkait pemberlakuan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang polyester POY dan DTY dari Tiongkok.
Upaya ini sempat ditolak karena dikhawatirkan berdampak pada industri hilir, terutama industri tekstil dan garmen, yang berpotensi menimbulkan puluhan ribu pemutusan hubungan kerja (PHK).
Fernando menilai sejauh ini pemerintah bersikap objektif dan sigap dengan menolak usulan tersebut berdasarkan analisis dampak menyeluruh.
SNI Wajib Pakaian Jadi
Terkait SNI wajib untuk pakaian jadi, Fernando mengatakan saat ini hanya diberlakukan pada kategori pakaian bayi, dan itu pun berdasarkan alasan keselamatan konsumen.
“Pakaian bayi yang tidak sesuai SNI bisa mengandung zat berbahaya seperti timbal, yang jika tergigit oleh bayi bisa membahayakan kesehatan. Maka, penerapan SNI wajib untuk segmen ini sangat wajar,” tegasnya.
Namun, perlu kajian komprehensif sebelum memperluas kewajiban SNI ke seluruh produk pakaian jadi. Berdasarkan data Sakernas BPS, terdapat lebih dari 909.000 industri pakaian jadi mikro, serta sekitar 5.800 industri besar dan menengah, yang menyerap hampir 2,9 juta tenaga kerja.
“Kalau semua diwajibkan mengurus SNI hanya untuk bisa menjual produk, apakah negara siap menjamin tidak akan terjadi kriminalisasi terhadap pelaku UMKM yang hanya memiliki 2–3 mesin jahit di rumahnya?” tanya Fernando.
Menurutnya, yang jauh lebih mendesak adalah pembenahan tata niaga impor pakaian jadi, yang saat ini tengah dibahas dan diharapkan segera diberlakukan.
“Pemerintah sedang bekerja secara objektif. Jangan sampai fokus penguatan industri nasional malah dibelokkan oleh tekanan dari kelompok-kelompok yang mengedepankan kepentingan sempit,” lanjutnya.
Fernando meminta Kementerian Hukum dan HAM agar mengevaluasi dan mencabut izin organisasi yang melakukan tekanan tidak sehat terhadap proses penyusunan kebijakan industri.
Ia menilai, tindakan seperti ini berpotensi mengganggu pelaksanaan program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, khususnya dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui penguatan industri domestik.
“Presiden Prabowo telah berkomitmen untuk mendorong perluasan investasi dan penciptaan lapangan kerja di sektor-sektor strategis. Maka jangan sampai program besar ini diganggu oleh kepentingan segelintir pihak yang melakukan tekanan melalui organisasi yang tidak legitimate,” kata Fernando.
Pengembangan Hutan Tanaman Industri Diharapkan Buka Lapangan Kerja hingga Sumber Energi Terbarukan |
![]() |
---|
Pengamat Sambut Positif Perbaikan Tata Kelola BBM Swasta |
![]() |
---|
Pengamat: Penambahan Kuota Impor Bukan Solusi Atasi Kelangkaan BBM di SPBU Swasta |
![]() |
---|
Sektor Manufaktur Tumbuh Baik di 2011-2023, Tapi Emisi Karbon Ikut Naik |
![]() |
---|
Menperin Ingatkan Sektor Manufaktur Segera Bertransformasi Menuju Industri Hijau |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.