Senin, 29 September 2025

Gaikindo: Industri Otomotif Nasional Butuh Kebijakan Jangka Panjang Agar Tak Terganggu

Gaikindo menyebut membangun industri mobil nasional bukan hanya soal biaya besar, tetapi juga soal keberlanjutan pasar.

HO
INDUSTRI OTOMOTIF - Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara. Ia menyampaikan membangun industri mobil nasional bukan hanya soal biaya besar, tetapi juga soal keberlanjutan pasar. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri otomotif nasional masih terjebak dalam pusaran penjualan 1 juta unit (one million trap) sejak satu dekade lalu. Kondisi ini membawa tantangan bagi para automaker.

Selain itu, situasi ekonomi dalam negeri yang dinamis yang menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, menambah tantangan bagi produsen kendaraan roda empat.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengatakan, pembangunan industri otomotif harus ditopang kebijakan jangka panjang.

Ia mengingatkan, kebijakan yang bersifat jangka pendek justru bisa mengganggu keberlanjutan industri, karena investasi di sektor ini membutuhkan waktu lama untuk kembali modal.

Baca juga: Industri Otomotif Harap Kucuran Dana Rp 200 T ke Himbara Bisa Percepat Kelancaran Ekonomi

"Industri otomotif ini perlu kebijakan yang sifatnya jangka panjang. Karena kalau jangka pendek, belum sempat kembali modal, kebijakannya berubah, itu akan terganggu," tutur Kukuh dalam Diskusi Setengah Abad Industri Otomotif di Wisma Bisnis Indonesia, Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (25/9/2025).

Lebih lanjut, Kukuh menyoroti kompleksitas industri otomotif. Satu unit mobil rata-rata terdiri dari sekitar 30.000 komponen.

Oleh karena itu, menurutnya skala ekonomi menjadi faktor kunci agar investasi di industri kendaraan bermotor layak dijalankan.

"Kalau skala ekonominya gak kena, gak akan menarik. Makanya harus hati-hati dalam menentukan kalau kita mau bikin industri mobil," jelasnya.

Terkait wacana mobil nasional, Kukuh menekankan perlunya kajian serius. Ia menilai, membangun industri mobil nasional bukan hanya soal biaya besar, tetapi juga soal keberlanjutan pasar.

Selanjutnya mengenai wacana mobil nasional. Kukuh berpendapat, masih banyak yang perlu didiskusikan masalah mobil nasional dan ini perlu kehati-hatian.


 
"Ini makan biaya yang luar biasa banyaknya. Kita lihat apakah Malaysia berhasil dengan mobil nasionalnya, perlu dikaji ulang. Jadi kalau kita mau masuk ke sana, kajiannya harus betul-betul panjang. Jangan sampai sudah ngabisin uang banyak, akhirnya gak berhasil," ucapnya.

Selain itu, Kukuh juga menyinggung tantangan pasar otomotif yang sangat fluktuatif. Menurutnya, produksi dalam jumlah terbatas bisa dilakukan, tetapi memastikan penjualan berkelanjutan menjadi persoalan tersendiri. 

"Bikin mobil 1, 2, 10 bisa, bikin 100 pun bisa, bikin 1.000 bisa. Lalu kemudian bikin mobil yang laku dijual, itu yang menjadi isu tersendiri. Katakanlah laku, apakah kemudian berkesinambungan, apakah masyarakat akan memorial dengan produk-produk yang dikenalkan. Ini yang jadi kajian. Lalu bikin mobil semakin cepat, betul. Tapi tentunya juga perlu proses yang matang gak asal tepat, ujung-ujungnya berantakan," ujar Kukuh.

Di sisi lain, perubahan model bisnis otomotif di Indonesia juga berpengaruh ke industri. Jika sebelumnya industri otomotif harus memiliki pabrik besar, kini keberadaan fasilitas perakitan atau Completely Knocked Down (CKD) memberi jalan pintas bagi produsen baru, terutama dari Tiongkok.

"Belakangan di Indonesia ada general reseller, pemain-pemain yang dari China ini datang maunya cepat. Ternyata bisa diakomodasi, CKD itu bisa cepat, sambil mempelajari pasarnya, demand-nya seperti apa, ini juga bisa diakomodasi," ungkap Kukuh.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan