Senin, 6 Oktober 2025

Beras Oplosan

Beras Oplosan Dijual Bebas, Anggota DPRD Diduga Ikut Terlibat Lewat Pemesanan Paket Sembako

Pengoplosan beras setidaknya mengurangi kualitas beras dan tidak sesuai dengan standar mutu beras yang ditetapkan pemerintah.

Ibriza/Tribunnews
BERAS - Kondisi Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (25/6/2025). Beras yang diduga hasil oplosan dikemas menggunakan karung (Ibriza/Tribunnews) 

"Ini (beras) sudah diaduk semua, di-mix di situ beras medium dengan medium semua. Kan yang medium juga jenisnya bervariasi," kata Jefry dengan dialek Jawa saat ditemui di depan tokonya, Rabu.

Jefry yang sedang berdiri tampak bergerak menuju kursi yang berada di sisi kanannya. 

Dia segera duduk di kursi tersebut sambil menunjukkan beberapa jenis beras yang masing-masing jenisnya diletakkan terpisah di atas meja, di antaranya ada beras premium, beras medium, beras patahan atau siping (sisa samping), dan menir.

Pria berbadan tegap itu mengatakan, harga beras premium di tokonya dijual dengan harga tertinggi Rp15 ribu, sedangkan beras medium sampai dengan harga tertinggi Rp13.600.

Dia kemudian menjelaskan bagaimana pengoplosan beras dilakukan. Jefry mengklaim, beras oplosan hanya dijual jika ada permintaan dari konsumen.

Katanya, pengoplosan beras dilakukan untuk memenuhi daya beli konsumen. Sehingga, berapapun bujet konsumen, pedagang akan mengusahakan agar permintaan konsumen dapat dikabulkan.

Misalnya, kata Jefry, ketika ada konsumen ingin memesan beras yang kualitasnya hampir sama dengan premium, namun dengan harga Rp14 ribu per kilogram. Dia menyebut, akan mengoplos beras jenis medium dengan beras patah.

"Kita menyesuaikan pesanan konsumen aja. Bisa aja (oplos) beras premium dengan medium. Tergantung permintaannya mau di-mix seperti apa. Kalau premium satu dan medium satu, ya tinggal dibagi dua," jelasnya.

Ia mengatakan, pencampuran satu jenis beras dengan jenis yang lain yang kualitasnya di bawah beras medium juga memungkinkan untuk dilakukan, menyesuaikan bujet konsumen.

Soal kemasan beras, katanya, bisa menggunakan karung umum atau karung yang desainnya tidak dipatenkan oleh perusahaan tertentu.

Ia mengatakan, praktik "mixing" seperti yang dilakukannya boleh saja dilakukan. Sebab, menurutnya, pengoplosan beras itu tidak dilakukan untuk mencari keuntungan yang banyak. Namun, untuk mencapai tingkat daya beli masyarakat agar mereka mendapatkan beras dengan harga yang mereka sanggupi.

"Kan asumsi pemerintah itu gini, ketika harga beras itu di Rp14.500, lalu kita aduk dengan yang beras sisa sampingan, akan dijual kembali Rp14.500, ya enggak mungkin laku," ujarnya.

"Kalau bujet mereka (konsumen) cuma di Rp12 ribu, sementara beras di lapangan Rp12 ribu itu tidak ada. Ya mau enggak mau kita kan menyodorkan produk, ini contohnya seperti itu dengan harga segitu," tambah Jefry.

Ia menilai, tanpa "mixing", usaha pedagang beras tak akan bisa berjalan.

Selanjutnya, Jefry merespons kasus beras oplosan yang menjerat temannya di Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, dimana pihak kepolisian menyebut pelaku mencampurkan beras untuk keluarga miskin (raskin) 200 gram dengan beras Demak 600 gram, dan beras menir 200 gram.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved