Tribunners / Citizen Journalism
Rokok Ilegal dan Ikhtiar Menjawab Ketidakadilan di Madura Jawa Timur
Mereka mengeluh keringat perjuangan mereka menanam tembakau dibalas dengan air tuba.Tembakau saat sudah kering dan siap dijual justru ada rokok ilegal
Editor:
willy Widianto
Tontonan Ketidakadilan
Inilah tontonan ketidakadilan yang menyelimuti dunia tembakau Madura selama ini. Para pengusaha atau mereka yang berafiliasi dengan pengusaha tembakau, boleh jadi turut menikmati ketidakadilan dan permainan harga tembakau.
Sebab, semakin kecil harga yang mereka patok kepada petani tembakau, semakin besar margin keuntungan mereka.
Ironisnya, berbagai keluhan, teriakan hingga aksi protes keadaan ini tidak banyak terdengar hingga ke luar daerah atau bahkan menjadi isu nasional. Minimnya ‘‘blow up’’ media membuat isu ini sering hilang ditelan angin. Bahkan berbagai aksi demonstrasi yang memprotes harga tembakau yang tidak layak di Madura seringkali hanya menjadi buah bibir sesaat lalu kemudian hilang ditelan waktu. Padahal jika kita telusuri, ada ketidakadilan yang menganga yang dipertontonkan secara telanjang di balik industri tembakau ini.
Baca juga: Soal Isu PHK Karyawan PT Gudang Garam, Ketua Umum KSPSI Soroti Dampak Rokok Ilegal
Apa gerangan ketidakadilan itu? Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan bahwa Madura merupakan daerah dengan produksi terbesar di Indonesia. Pada tahun 2022, Madura memproduksi 18.000 ton tembakau. Jumlah ini kemudian meningkat setiap tahun menjadi 19.992 ton (2023), kemudian 43.000 ton (2024), dan diperkirakan akan mencapai 60.000 ton pada 2025. Jumlah ini adalah 64 persen dari Produksi Jawa Timur (109.000 ton), dần 43?n Produksi Nasional (200.000 ton).
Besaran produksi tembakau ini berpengaruh pada penerimaan negara dari sektor tembakau. Dalam data APBN 2024, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) saja sebesar Rp 226.000 Triliun. Artinya jika mengacu pada angka 60.000 ton tembakau nasional yang disupport dari Madura, maka kontribusi Madura terhadap penerimaan negara mencapai Rp 72 Triliun. Sungguh sangat besar, bukan?
Tapi apa timbal balik negara terhadap Madura? Sangat kecil dan jauh dari rasa keadilan. Bayangkan Madura yang memiliki kontribusi Rp 72 Triliun hanya menikmati tidak sampai 1?ri kontribusinya terhadap negara. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang kembali ke Madura hanya sebesar Rp 198.160.580.000. Jumlah itu pun masih dibagi ke 4 kabupaten di Madura, yakni Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Bahkan Madura masih berada di bawah 5 kabupaten lain di Jawa Timur, yakni Pasuruan, Malang, Kediri, Jember, dan Bojonegoro. Kok bisa? Karena di lima kabupaten itulah terdapat banyak pabrik rokok yang dinilai menyebabkan konsumsi tembakau yang tinggi sehingga menghasilkan penerimaan cukai yang lebih besar dibanding daerah lainnya.
Ikhtiar Melawan Ketidakadilan
Dari sini kita menyaksikan dua ketidakadilan sekaligus. Pertama ketidakadilan harga yang ditentukan oleh para kapitalis dan pengusaha besar pemilik pabrik rokok di Madura. Kedua ketidakadilan berupa rendahnya sumbangsih negara terhadap Madura.
Bagi Madura, dampak ketidakadilan ini begitu nyata terjadi. Sebagaimana diungkapkan para ahli seperti Karl Marx, David Harvey, dan Joseph Stiglitz yang menyebut berbagai dampak ketidakadilan ekonomi. Diantaranya kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial dan ekonomi yang ekstrem, peningkatan konflik dan ketidakstabilan sosial, serta melemahnya daya beli masyarakat yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Ketidakadilan ekonomi juga dapat menghambat pengembangan sumber daya manusia karena kurangnya akses pada pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta menciptakan struktur kekuasaan yang tidak seimbang dalam masyarakat.
Oleh karena ia memiliki dampak buruk, tentu hal ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Sehingga, banyak pengusaha lokal mulai berpikir keras agar ketidakadilan ini segera diakhiri.
Mereka berpikir sampai kapan mereka akan dikebiri dan hidup di bawah bayang-bayang kaum kapitalis rokok yang tidak berpihak pada rakyat Madura. Sampai kapan harga tembakau rakyat dipermainkan dan tidak mendapatkan perhatian dan harga yang layak?
Maka, para pengusaha lokal kemudian mulai menemukan jawaban. Mereka mulai menemukan cara melawan kezaliman dan ketidakadilan ini dengan cara yang halus. Dengan melibatkan berbagai pesantren yang memiliki modal besar, mereka kemudian bekerjasama untuk membuka sendiri pabrik rokok secara mandiri. Mereka menentukan harga sendiri yang berbeda jauh dari pabrik-pabrik mainstream yang selama ini menjadi sumber patokan harga para petani seperti Gudang Garam, Sampoerna, dan Djarum.
Dari sini kemudian lahirlah nama-nama besar pengusaha rokok seperti H. Khairul Umam atau yang dikenal dengan Haji Her. CEO PT Bawang Mas Group, sebuah perusahaan rokok dari Pamekasan, Madura ini dikenal sebagai "Sultan Madura" dan aktif membantu masyarakat kurang mampu dengan membangun lebih dari 1.000 rumah gratis untuk warga miskin di Pamekasan. Haji Her juga berjuang untuk kesejahteraan petani tembakau dengan mendukung pembelian tembakau lokal dan menentang praktik pembelian yang merugikan petani.
Baca juga: Gunakan Kapal Cepat, Penyelundupan 2.500 Karton Rokok Ilegal di Pulau Perdamaran Kepri Digagalkan
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.