Tribunners / Citizen Journalism
Kapitalisasi Demokrasi dan Robohnya Meritokrasi
Demokrasi berbiaya tinggi mengancam meritokrasi. Reformasi partai politik jadi kunci lahirkan pemimpin berintegritas
Editor:
Glery Lazuardi
Dr. Teguh Satya Bhakti, S.H.,M.H
- Dosen FH Universitas Krisnadwipayana Jakarta
- Praktisi Hukum
- Penulis Buku
- Mantan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang pernah bertugas di PTUN Semarang dan PTUN DKI Jakarta.
Riwayat Pendidikan
- S1 Universitas Mataram
- S2 Universitas Indonesia
TRIBUNNEWS.COM - Para akademisi, intelektual, kaum professional, aktivis, dan sejumlah kelompok masyarakat sipil tampaknya mulai gelisah dengan fenomena pesta demokrasi yang semakin super mahal, mulai dari Pilpres, Pileg, Pilkada hingga Pilkades.
Perbincangan hal ini semakin mengudara ketika Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Prof. Yusril Ihza Mahendra melontarkan komitmen pemerintah untuk melakukan reformasi politik.
Salah satu isu yang disorot adalah kualitas anggota DPR yang masih jauh panggang dari api. Kalau ditarik ke dalam ruang kekuasaan yang lebih luas, beberapa kepala daerah mengandung nada yang sama, termasuk Stafsus aliran “orang dalam”.
Ketika virus kapitalisasi politik begini terus situasinya, siap-siap saja bangunan demokrasi bakal ambruk, lalu orang berimajinasi dengan sistem lain yang dianggap lebih menjanjikan.
Dari pemilu ke pemilu terutama pasca reformasi dewasa ini,sudah memberikan pelajaran yang berharga, dan ihwal itu memerlukan refleksi kritis tentang perjalanan demokrasi Indonesia.
Dalam banyak fakta empirik, pemenang pemilu didominasi oleh konglomerat yang berduit raksasa. Ada pula penyanyi, pemain film hingga pelawak yang mengandalkan popularitas, ketampanan dan kecantikan, sehingga di Gedung Senayan, beberapa di antaranya bergoyang ria tanpa jejak pemikiran dan sikap politik yang cemerlang, kendati harus diakui ada juga kalangan artis yang berkompeten.
Di sisi lain, politikus yang diternak melalui kandang dinasti politik turut menghegemoni struktur kekuasaan dengan jaringan yang mapan. Pada titik tertentu, kondisi seperti itu berpotensi menghadirkan demokrasi kolusif (collusive democracy)sebagaimana diutarakan Slater (2004).
Sementara itu, paraakademisi, profesional, peneliti, pemikir kebangsaan, maupun mantan birokrat kerap kali terpental dari arena karena dikalahkan oleh pemilik duit tak berseri, keluarga pejabat, hingga eks narapidana. Politikus berijazah palsu pun masuk gelanggang politik praktis, sehingga demokrasi menjadi sarang predator.
Gejala ini menimbulkan praktik demokrasi ibarat pasar bebas yang penuh dengan transaksi, dan suara rakyat menjadikomoditas. Dalam sistem seperti ini, meritokrasi yang berbasis pada intelektualitas dan etikabilitas bisa roboh.
Dampaknya, pihak yang mengatur negara ini bertumpu pada blok kekuasaan yang diwariskan dari kakek-nenek ke anak-cucu dan seterusnya. Yang terjadi adalah kompetisi politik menjadi tidak sehat, dan menyumbat keran bagi pendatang baru yang membawa narasi dan program yang solutif. Akibat dari sistem seperti ini, spiritketerwakilan rakyat yang sejati terus menghilang dari arus demokrasi politik yang kebablasan.
Politik berbiaya tinggi benar-benar menjadi biang kerok dari fenomena kebangkrutan demokrasi di Indonesia. Partai politik yang idealnya menjadi kawah candradimuka pemimpin bangsa,malah cenderung mengangkut kandidat dengan fulus gede demi operasional kegiatan partai dan pendanaan kampanye. Hal ini tentu membuat partai tergoda untuk memilih calon yang beruangketimbang calon yang intelek. Kita jarang lagi menyaksikan perdebatan yang alot menyangkut substansi kenegaraan, malah sensasi lebih mengemuka.
Ketika fuluskrasi ini tidak dicegah, demokrasi akan dibajak oleh segelintir elite, oligarkisasi dan kartelisasi politik pun berkembang biak. Dalam situasi seperti ini, regulasi dan kebijakan yang diproduksi berpotensi lebih menghamba kepada kepentingan kapitalis gigantik, bukan kepentingan rakyat yang diwakili.
Demokrasi pun menjelma menjadi pasar politik dagang sapi daripada ruang partisipasi rakyat. Maka muncullah pejabat flexing dan glamor.
Reformasi Partai Politik
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kementerian Hukum Sahkan Kepengurusan DPP PDI Perjuangan Periode 2025-2030 |
![]() |
---|
Hukum Kuat, Demokrasi Sehat—Suara Rakyat, Pilar Negara |
![]() |
---|
Pidato Presiden, Retorika Dialogis atau Represi Simbolis? |
![]() |
---|
Profil Wibowo Prasetyo, Politisi PDIP Dilantik Jadi Anggota MPR RI |
![]() |
---|
Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin Tekankan Pentingnya Peran Pemuda Islam dalam Demokrasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.