Tribunners / Citizen Journalism
Membongkar Ekonomi Bawah Tanah di Perbatasan: Dari Ancaman Fiskal ke Peluang Pertumbuhan
Ekonomi bawah tanah di perbatasan NTT–Timor Leste tumbuh pesat, cermin rapuhnya regulasi fiskal dan kebutuhan hidup masyarakat.
Frederic Winston Nalle SE., ME
- Dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Timor
- Mahasiswa program Doktor Ilmu Ekonomi di Universitas Brawijaya, Malang
- Domisili di NTT
TRIBUNNEWS.COM - Ekonomi bawah tanah atau underground economy merupakan fenomena global yang terus menantang kedaulatan fiskal negara.
Aktivitas ekonomi yang berjalan di luar sistem hukum formal ini bukan hanya berdampak pada potensi kehilangan penerimaan negara, tetapi juga mencerminkan rapuhnya kapasitas kelembagaan dalam mengatur transaksi lintas batas.
International Monetary Fund (IMF) memperkirakan bahwa rata-rata kontribusi ekonomi bayangan mencapai 31,9 persen dari PDB global pada tahun 2020.
Angka ini menegaskan bahwa hampir sepertiga aktivitas ekonomi dunia berlangsung di luar jangkauan otoritas pajak dan regulasi formal.
Di negara berkembang, proporsinya bahkan lebih tinggi, termasuk Indonesia. Schneider (2010) dalam analisis lintas negara memperkirakan bahwa kontribusi ekonomi bawah tanah Indonesia pada periode 1999–2007 berkisar antara 18 persen hingga 21?ri Produk Domestik Bruto (PDB).
Temuan ini menjadi rujukan awal yang menegaskan bahwa sektor informal di Indonesia tidak bisa dipandang kecil. Penelitian terbaru oleh Yuvensius Sri Susilo et al. (2024) memperkirakan nilai aktivitas ekonomi bawah tanah di Indonesia berkisar antara Rp1.430 miliar hingga Rp89.192 miliar per triwulan selama periode 2010–2022, dengan rata-rata Rp19.984 miliar per triwulan.
Jika ditarik ke level tahunan, angka ini menunjukkan besarnya volume transaksi yang tidak tercatat dalam statistik resmi. Studi lain oleh Btari Mutia Anggraini (2021) bahkan mengungkapkan potensi kehilangan penerimaan pajak pada periode 2010–2017 mencapai Rp163,22 triliun hingga Rp180,91 triliun, setara 40,2 persen PDB. Angka ini jauh di atas rata-rata negara ASEAN yang hanya berkisar 30 persen (Wibowo & Indrayanti, 2020).
Wajah Ganda Ekonomi di Perbatasan NTT–Timor Leste
Perbatasan NTT–Timor Leste memperlihatkan kompleksitas dinamika ekonomi bawah tanah yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Aktivitas perdagangan informal, barter, hingga penyelundupan kebutuhan pokok dan BBM bukan hanya sekadar pelanggaran hukum, tetapi telah membentuk pola ekonomi yang berakar kuat dalam struktur sosial-ekonomi lokal.
Fenomena ini lahir dari keterbatasan infrastruktur, lemahnya akses pasar formal, dan minimnya dukungan kelembagaan.
Dalam perspektif Lewis Dual Sector Model, kondisi ini menegaskan eksistensi “sektor informal” sebagai penyangga utama penghidupan, ketika sektor formal tidak mampu menyediakan peluang ekonomi yang memadai bagi masyarakat perbatasan.
Realitas tersebut tampak jelas di berbagai titik perbatasan. Di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Enklave Oecusse, pasar tradisional berfungsi sebagai ruang pertemuan antara ekonomi formal dan informal.
Di Kupang, akses pelabuhan membuka jalur perdagangan lintas batas melalui laut.
Belu dengan simpul Atambua dan Pelabuhan Atapupu menjadi pusat peredaran barang legal maupun ilegal. Sementara itu, Malaka yang berbatasan dengan Covalima sering berfungsi sebagai jalur alternatif distribusi kebutuhan pokok lintas negara.
Mosaik aktivitas ekonomi ini menunjukkan bahwa perbatasan bukan hanya ruang administratif, melainkan arena sosial-ekonomi yang khas, di mana keberlangsungan hidup masyarakat bergantung pada dinamika lintas batas.
Pemerintah pusat sejak era Presiden Joko Widodo berupaya memperkuat kehadiran negara melalui pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang megah, seperti di Wini dan Napan (TTU), Motaain (Belu), serta Motamasin (Malaka). Namun, kemegahan PLBN tidak serta-merta mengatasi persoalan struktural.
Ketimpangan masih lebar karena fasilitas pasar perbatasan dan infrastruktur perdagangan tetap minim. Akibatnya, PLBN lebih tampak sebagai monumen politik dan administratif dibanding instrumen penggerak ekonomi rakyat.
Dari perspektif Institutional Theory, lemahnya kelembagaan dan regulasi justru membuka ruang bagi ekonomi bawah tanah untuk bertumbuh, karena masyarakat mencari alternatif di luar mekanisme formal yang tidak responsif terhadap kebutuhan mereka.
Kesenjangan tersebut semakin tajam bila dikaitkan dengan kondisi sosial-ekonomi makro. Provinsi NTT hingga kini masih mencatat tingkat kemiskinan 19,02 persen, tertinggi ketiga di Indonesia setelah Papua dan Papua Barat.
Fakta ini mengindikasikan bahwa meskipun terdapat intervensi pembangunan infrastruktur berskala nasional, akar persoalan berupa rendahnya daya dukung ekonomi lokal dan terbatasnya akses masyarakat terhadap pasar formal belum terselesaikan.
Tanpa kebijakan yang menjembatani ketimpangan antara simbol pembangunan negara dan kebutuhan riil masyarakat, ekonomi bawah tanah akan terus berkembang sebagai respons rasional terhadap kelangkaan kesempatan hidup yang layak.
Sayangnya, pendekatan kebijakan selama ini masih bersifat represif dengan menekankan aspek keamanan.
Pengawasan di jalur resmi diperketat, tetapi “jalur tikus” tetap ramai digunakan karena lebih efisien bagi masyarakat. Ketika negara gagal menyediakan sarana perdagangan formal yang memadai, masyarakat justru semakin bergantung pada jaringan informal.
Temuan riset lapangan saya di kawasan TTU–Oecusse (2025) memperlihatkan bahwa aktivitas ekonomi bawah tanah bahkan telah terinstitusionalisasi melalui patronase sosial dan jaringan antar-keluarga lintas negara. Apa yang dianggap ilegal dalam hukum formal justru sah dalam norma sosial masyarakat setempat.
Kondisi ini menegaskan keterbatasan pendekatan hukum semata. Negara bukan hanya kehilangan potensi penerimaan fiskal, tetapi juga gagal memahami logika sosial-ekonomi masyarakat perbatasan.
Jika situasi ini terus dibiarkan, ketergantungan pada ekonomi bayangan akan memperlebar jurang ketimpangan pembangunan antara pusat dan perbatasan, sekaligus melemahkan wibawa negara di mata warganya sendiri. Lebih jauh, hal ini berisiko menimbulkan ketidakstabilan sosial ketika masyarakat merasa negara hadir hanya dalam bentuk penertiban, bukan pemberdayaan.
Perbatasan sebagai Jembatan Pertumbuhan
Strategi pengelolaan perbatasan perlu mengalami pergeseran paradigma: dari border as barrier menuju border as bridge. Perbatasan harus dilihat bukan semata-mata sebagai garis batas yang harus dijaga ketat, melainkan sebagai jembatan interaksi ekonomi yang dapat menguntungkan kedua negara.
Infrastruktur pasar lintas batas, misalnya, dapat berfungsi sebagai kanal resmi untuk menyalurkan kebutuhan masyarakat sekaligus meningkatkan penerimaan negara.
Digitalisasi sistem perdagangan juga bisa menjadi instrumen efektif untuk meminimalisasi kebocoran fiskal, sambil memperkuat transparansi transaksi.
Selain itu, pemerintah perlu merancang skema insentif fiskal dan regulasi yang mendorong UMKM perbatasan untuk masuk ke sektor formal tanpa mengabaikan jejaring sosial yang sudah mengakar.
Pendekatan ini bukan hanya soal legalisasi semata, tetapi juga soal menciptakan mekanisme yang lebih adil antara kebutuhan masyarakat dan kepentingan negara.
Dalam konteks ini, kebijakan pembangunan perbatasan harus bersifat inklusif, berbasis pada logika lokal, dan sensitif terhadap dinamika sosial yang ada.
Kebijakan perbatasan juga perlu dikaitkan dengan agenda pembangunan nasional. Potensi ekonomi perbatasan bukan hanya soal mencegah kebocoran fiskal, melainkan juga membuka ruang bagi perdagangan internasional yang lebih luas.
Dengan memperkuat daya saing UMKM, mendorong konektivitas logistik, dan menciptakan lapangan kerja, kawasan perbatasan dapat menjadi frontier of growth alih-alih sekadar “wilayah pinggiran” yang identik dengan keterbelakangan dan aktivitas ilegal.
Membongkar ekonomi bayangan di perbatasan bukan semata-mata perkara menindak pelaku atau menutup jalur tikus.
Persoalan ini jauh lebih dalam: soal bagaimana negara mampu menghadirkan keadilan ekonomi, memahami logika lokal, dan menyediakan infrastruktur yang memungkinkan masyarakat bertransaksi secara sah tanpa kehilangan akses terhadap kebutuhan pokok mereka.
Jika negara mampu mengubah perbatasan dari ruang abu-abu menjadi gerbang pertumbuhan, maka ancaman ekonomi bawah tanah bisa bertransformasi menjadi peluang pembangunan berkelanjutan.
Dengan demikian, kedaulatan fiskal tetap terjaga, sementara masyarakat perbatasan memperoleh haknya untuk hidup layak dan bermartabat.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Lestari Summit 2025: Indonesia di Lima Besar G20 dengan Kemajuan SDGs Tercepat |
![]() |
---|
Jika Dikelola Serius, Indonesia Berpeluang Masuk 10 Besar Destinasi MICE Dunia |
![]() |
---|
Mantan Dubes Jepang di Indonesia Prediksi Indonesia Masuk Top 5 Negara Besar Dunia pada 2045 |
![]() |
---|
Pesan Prabowo pada Menekraf Teuku Riefky: Ekraf Harus Ciptakan Lapangan Kerja Berkualitas |
![]() |
---|
Pemerintah Diminta Prioritaskan Optimalisasi Ekowisata daripada Ekonomi Ekstraktif |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.